PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dewasa ini, hampir
80% kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Biodiesel
adalah salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, tidak mempunyai
efek terhadap kesehatan, dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor
dan dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan minyak diesel. Bahan baku
yang berpotensi sebagai bahan baku pembuat biodiesel antara lain kelapa sawit,
kedelai, jarak pagar, biji alpukat dan beberapa jenis tumbuhan lainnya.
Pusat penelitian kelapa sawit (PPKS) telah berhasil
mengembangkan palm biodiesel dari
minyak sawit mentah (CPO). Namun CPO lebih baik digunakan untuk minyak goreng.
Walaupun kandungan minyak alpukat masih lebih rendah bila dibandingkan dengan minyak
kelapa sawit, tetapi kandungan minyak biji alpukat lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tanaman-tanaman seperti kedelai, jarak, biji bunga matahari
dan kacang tanah. Selain itu, pemanfaatan biji alpukat sampai sekarang hanya
digunakan sebagai obat penghilang stress saja dan belum dimanfaatkan untuk yang
lainnya. Padahal biji alpukat memiliki kandungan fatty acid methyl ester sebagai bahan pembuat biodiesel. Biji
alpukat terdiri dari 65% daging buah (mesokarp),
20% biji (endocarp), dan 15% kulit
buah (perikarp). Menurut Prasetyowati(2010),
biji alpukat mengandung 15–20 % minyak.
Jadi dalam percobaan ini, bahan utama
yang digunakan adalah biji alpukat. Selain karna bahannya mudah didapat, kita
juga dapat mengurangi limbah biji
alpukat di kalangan masyarakat. Banyak sekali metode ekstraksi yang dapat
digunakan untuk memisahkan suatu komponen dari campurannya. Pada percobaan ini,
biji alpukat memiliki tekstur yang lunak, tidak tahan panas, serta memiliki
kadar minyak yang sedikit. Oleh karena itu metode yang digunakan adalah
ekstrasi dengan pelarut yaitu sokletasi. Dimana pelarut yang digunakan adalah
n-heksana, sebab n-heksana memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan
titik didih minyak biji alpukat, lebih mudah menguap, mudah dicari serta
harganya lebih murah.
1.2
Tujuan
Percobaan
1.
Mempelajari
dan mengamati proses isolasi suatu komponen dari suatu bahan alam dengan metode
sokletasi
2.
Menghitung
rendemen minyak alpukat yang dihasilkan
1
|
|
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biji
Alpukat
Tanaman
alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat
(batak), advokat, jamboo mentega, jambo pooan, pookat (Lampung) dan lain-lain. Tanaman
alpukat berasal dari dataran rendah/tinggi Amerika Tengah dan diperkirakan
masuk ke Indonesia pada abad ke-18. Secara resmi sekitar 1920-1930 Indonesia
telah memperkenalkan 20 varietas alpukat dari Amerika Tengah dan Amerika
Serikat untuk memperoleh varietas unggul dalam meningkatkan kesehatan dan gizi
masyarakat, khususnya di daerah
dataran tinggi (Rohanna,
2010).
Pohon alpukat
dapat hidup
pada ketinggian 5-1500 meter di atas
permukaan laut dan tumbuh sangat subur pada 1000 meter di atas permukaan laut. Iklim yang
paling baik untuk proses penanaman dan pertumbuhan alpukat memiliki kecepatan
angin <62,4-73,6 km/jam untuk proses penyerbukan, curah hujan minimum
750-1000 mm/tahun, intensitas 40-80% dan suhu optimum 12,8-28,3oC.
Untuk tanah atau media yang digunakan tanaman alpukat juga harus tanah yang
gembur dengan sistem pengairan baik, subur, dan banyak mengandung bahan organik. Jenis tanah yang biasa digunakan
adalah jenis tanah berpasir, lempung liat, dan lempung endapan dengan pH
5,6-6,4 (Rohanna, 2010).
2
|
Gambar 2.1 Alpukat (Ayu, 2012)
Biji alpukat
memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi, sehingga biji alpukat dapat
dijadikan bahan baku biodiesel yang ekonomis dan ramah lingkungan. Adapun
kandungan dari biji alpukat adalah senyawa polifenol, flavonoid,
triterpenoid, kuinon, tanin, monoterpenoid, dan seskuiterpenoid. Alpukat merupakan buah yang
memiliki banyak manfaat. Adapun manfaat alpukat yaitu sebagai bahan pangan
penambah, bahan kosmetik, mengontrol berat badan, sumber antioksidan, pencegah
stroke, menjaga kesehatan mata, dan bahan baku biodiesel (Prasetyowati, 2010).
2.2
Minyak Biji Alpukat
Lemak dan
minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan
tidak larut dalam air. Sifat kelarutan ini yang membedakan lipida dari golongan
senyawa alam penting lain seperti protein dan karbohidrat yang pada umumnya
tidak larut dalam pelarut nonpolar . Lemak merupakan bahan padat pada suhu
ruang disebabkan kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang tidak
memiliki ikatan rangkap, sehingga mempunyai titik lebur yang lebih tinggi,
sedangkan minyak merupakan bahan cair pada suhu ruang disebabkan tingginya
kandungan asam lemak yang tidak jenuh, yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap
diantara atom-atom karbonnya, sehingga mempunyai titik lebur yang rendah
(Winarno, 1992).
Menurut
Rachimullah et al. (2009),
minyak biji alpukat memiliki komposisi asam lemak yang tersusun oleh 10 asam
lemak dengan kandungan asam lemak terbesar adalah asam oleat (C12H33COOH)
yaitu 70,54% dan asam palmitat (C15H31COOH) sebanyak
11,85%. Komposisi asam lemak pada minyak biji alpukat dapat diihat pada Tabel
2.1.
Tabel
2.1 Komposisi asam lemak minyak biji
alpukat
Asam Lemak
|
Total (%)
|
Asam
Palmiat (C16:1)
|
11,85
|
Asam
Palmitoleat (C16:1)
|
3,98
|
Asam
Stearat (C18:0)
|
0,87
|
Asam
Linolenat (C18:3)
|
0,87
|
Asam
Arachidik (C20:0)
|
0,50
|
Asam
Linoleat (C18:2)
|
9,45
|
Asam
Oleat (C18:1)
|
70,54
|
Asam
Eliosenik (C20:1)
|
0,39
|
Asam
Bechenat (C22:0)
|
0,61
|
Asam
Lignoserat (C24:0)
|
0,34
|
(Sumber: Racimullah et al, 2009)
Minyak biji
alpukat yang baru diekstrak biasanya berwarna kuning kecoklatan dan berbau khas
minyak biji alpukat. Karakteristik kimia minyak biji alpukat dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Tabel
2.2 Karakteristik Kimia Minyak Biji
Apukat
Karakteristik
|
Jumlah
|
FFA
|
0,367%-0,82%
|
Bilangan
Iodin (mg iodine/g)
|
246,840
|
Bilangan
Asam (mg KOH/g)
|
42,664
|
Bilangan
Ester
|
5,200
|
Bilangan
Peroksida
|
241,640
|
Bilangan
Saponifikasi (mg KOH/g)
|
3,3
|
Bahan
yang tak tersabunkan
|
15,250
%
|
(Sumber : Winarti dan Purnomo, 2006)
Minyak dan
lemak selain terdiri dari asam lemak, juga mengandung senyawa antioksidan.
Antioksidan berdasarkan kelarutannya dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
antioksidan larut dalam air (antioxidant water soluble) dan antioksidan larut
dalam lemak (antioxidant lipid soluble). Antioksidan yang larut dalam lemak
meliputi ubiqinon, protein plasma, glutation sulfhidril (GSH), asam urat,
karotenoid, retinoid, tokoferol dan flavonoid (Sies, 1993).
Metode yang
digunakan untuk memperoleh minyak biji alpukat pada penelitian ini yaitu dengan
ekstraksi. Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen – komponen dalam larutan
berdasarkan perbedaan kelarutannya/solubilitas.
Metode ini memanfaatkan perbedaan kelarutan antara minyak dan bahan – bahan
lain di dalam biji biji alpukat terhadap pelarut. Sifat selektivitas pelarut
yang digunakan menentukan tingkat kemurnian minyak biji alpukat yang diperoleh.
Oleh karena itu, pemilihan jenis pelarut memegang peranan yang sangat penting.
Cara kerja ekstraksi dengan pelarut yaitu dengan cara memasukkan bahan yang
diekstraksi ke dalam soklet. Ekstraksi berlangsung secara sistematik pada suhu
tertentu dengan menggunakan pelarut. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam bahan.
Minyak hasil ekstraksi dengan pelarut mempunyai keunggulan yaitu bau yang mirip
bau alamiah (Guenther,1987).
2.3
Ekstraksi
Ekstraksi
merupakan proses pembuatan ekstrak bahan alam dimana ekstraksi ini dilakukan
untuk menarik komponen kimia pada bahan alam (Harborne 1987). Ekstraksi adalah suatu cara untuk
mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau
lemak. Adapun cara ekstraksi ini bermacam-macam, yaitu rendering (dry rendering
dan wet rendering), mechanical expression, dan solvent extraction (Ketaren,
1986).
2.3.1
Rendering
Menurut
Ketaren (1986), rendering merupakan
suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak
atau lemak dengan kadar air yang tinggi. Pada semua cara rendering, penggunaan
panas adalah suatu hal yang spesifik, yang bertujuan untuk mengumpulkan protein
pada dinding sel bahan dan untuk memecahkan dinding sel tersebut sehingga mudah
ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya.
Menurut Winarno
(1991), rendering merupakan suatu
cara yang sering digunakan untk mengekstraksi minyak hewan dengan cara
pemanasan. Pemanasan dapat dilakukan dengan air panas. Lemak akan mengapung di
permukaan sehingga dapat dipisahkan. Pemanasan tanpa air biasanya dipakai untuk
mengekstraksi minyak babi dan lemak susu. Secara komersial rendering dilakukan dengan menggunakan ketel vakum. Protein akan
rusak oleh panas dan air akan menguap sehingga lemak dapat dipisahkan. Rendering terbagi dua yaitu wet rendering dan dry rendering.
Wet rendering adalah proses rendering dengan penambahan sejumlah
air selama berlangsungnya proses tersebut. Cara ini dikerjakan pada ketel yang
terbuka atau tertutup dengan menggunakan temperature ang tinggi serta tekanan
40 sampai 60 pound tekanan uap (40-60 psi). Peralatan yang digunakan adalah autoclave atau digester. Air dan bahan yang akan diekstraksi dimasukkan kedalam digester dengan tekanan uap air sekitar
40 sapai 60 pound selama 4-6 jam (Winarno,1991).
Dry rendering adalah cara rendering tanpa penambahan air selama
proses berlangsung. Dry rendering
dalam ketel yang terbuka dan diperlengkapi dengan steam jacket serta alat pengaduk
(Winarno,1991).
2.3.2 Mechanical Expression (Pengepresan Mekanis)
Pegepresan
mekanis merupakan saut cara ekstraksi minyak atau lemak, terutama untuk bahan
yang berasal dari biji-bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari
bahan yang berkadar minyak tinggi (30-70%). Pada pengepresan mekanis ini
diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atua lemak dipisahkan dari
bijinya. Perlakuan pendahuluan tersebut mencakup pembuatan serpih, perajangan
dan penggilingan serta tempering atau
pemasakan (Ketaren,
1986).
Pada
cara pengepresan hidraulik, bahan dipres dengan tekanan sekitar 2000 pound per
inch2. Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung
dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak
dalam bahan asal, sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil
bervariasi sekitar 4-6%, tergantung dari lamanya bungkil ditekan dibawah pres
hidraulik (Ketaren, 1986).
Gambar 2.2 Pengepresan
hidraulik (Ayu, 2012)
Cara
pengepresan berulir memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri dari proses
pemasakan. Proses pemasakan berlangsung pada temperatur 240oF dengan
tekanan sekitar 15-20 ton/inch2. Kadar air minyak atau lemak yang
dihasilkan berkisar sekitar 2,5-3,5%, sedangkan bungkil yang dihasilkan masih
mengandung minyak sekitar 4-5%. Cara lain untuk mengekstraksi minyak atau lemak
dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak adalah gabungan proses wet
rendering dengan pengepresan secara mekanik atau dengan sentrifusi (Ketaren,
1986).
Gambar 2.3 Pengepresan berulir (Ayu,2012)
2.3.3 Ekstraksi
Pelarut
Cara
ekstraksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut dan digunakan untuk
bahan yang kandungan minyaknya rendah. Lemak dalam bahan dilarutkan dengan
pelarut. Tetapi cara ini kurang efektif, karena pelarut mahan dan lemak yang
diperoleh harus dipisahkan dari pelarutnya dengan cara diuapkan. Sleain itu, ampasnya
harus dipisahkan dari pelarut yang tertahan, sebelum dapat digunakan sebagai
bahan makanan ternak. Ada tiga metode ekstraksi pelarut yaitu maserasi,
perkolasi, dan sokletasi (Ketaren,
1986).
Maserasi
merupakan metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dengan pelarut yang
cocok untuk senyawa yang akan dicari dan dilakukan berulang-ulang hingga
senyawa tersebut habis dari sampel yang ditandai dengan warna pelarut yang
berubah menjadi bening setelah perendaman. Maserasi berasal dari bahasa
latin Macerace berarti mengairi dan
melunakkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari
maserasi adalah melarutnya bahan kandungnan simplisia dari sel yang rusak, yang
terbentuk saat penghalusan ekstraksi (difusi) bahan kandungan sel yang masih
utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang
diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk ke dalam cairan, telah tercapai
maka proses difusi segera berakhir (Ketaren,
1986).
Selama
maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini
menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam
cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan
bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya
ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan
pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Ketaren, 1986).
Perkolasi
adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurnya (Exhaustiva extraction) yang umumnya
dilakukan pada temperature ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan
serbuk
sample sisa pada
suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses
terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan/ penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh
ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000).
Sokletasi
adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalau baru yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut
yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi yang dilakukan
menggunakan metoda sokletasi, yakni sejenis ekstraksi dengan pelarut organik
yang dilakukan secara berulang- ulang dan menjaga jumlah pelarut relatif
konstan, dengan menggunakan alat soklet. Minyak nabati merupakan suatu senyawa
trigliserida dengan rantai karbon jenuh maupun tidak jenuh. Minyak nabati
umumnya larut baik dalam pelarut organik, seperti benzen dan heksan. Untuk
mendapatkan minyak nabati dari bagian tumbuhan dapat dilakukan metode sokletasi
dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Nazarudin,
1992).
Proses
sokletasi digunakan untuk ekstraksi lanjutan dari suatu senyawa dari material
atau bahan padat dengan pelarut panas. Alat yang digunakan adalah labu didih,
ekstraktor dan kondensor. Sampel dalam sokletasi perlu dikeringkan sebelum
disokletasi. Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk mengilangkan kandungan
air yang terdapat dalam sample sedangkan dihaluskan adalah untuk mempermudah
senyawa terlarut dalam pelarut. Di dalam
sokletasi digunakan pelarut yang mudah menguap. Pelarut itu bergantung pada
tingkatannya, polar atau non polar (Nazarudin,
1992).
Bila penyaringan
telah selesai maka pelarut yang telah di uapkan kembali adalah zat yang
bersisa. Dietil eter merupakan pelarut yang baik untuik hidrokarbon danuntuk
senyawa yang mengandung oksigen proses penyaringan yang berulang ulang pada
proses sokletasi bergantung pada tetesan yang mengalir pada bahan yang di
ekstraksi. Sampel pelarut yang digunakan bening atau tidak berwarna lagi.
Umumnya prosedur sokletasi hanya pengulangan,sistematis dan pemisahan dengan
menggunakan labu untuk ekstraksi sederhana tetapi lebih merupakan metoda yang
spesial,dan alat yang digunakan lebih kompleks. Oleh karena itu alat soklet
cenderung mahal (Nazarudin, 1992).
Menurut Guenther (1987), syarat-syarat pelarut yang
digunakan dalam proses sokletasi:
1.
Pelarut
yang mudah menguap, misalnya n-heksana, eter, petroleum eter, metil klorida dan
alkohol;
2.
Titik
didih pelarut rendah;
3.
Pelarut
dapat melarutkan senyawa yang diinginkan;
4.
Pelarut
tersebut akan terpisah dengan cepat setelah pengocokan; dan
5.
Sifat
sesuai dengan senyawa yang akan diisolasi (polar atau nonpolar)
Menurut
Guenther (1987), Keuntungan metode ini adalah :
1.
Dapat
digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap
pemanasan secara langsung.
2.
Digunakan
pelarut yang lebih sedikit
3.
Pemanasannya
dapat diatur
Menurut Guenther (1987), Kerugian dari metode ini :
1.
Karena
pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah
terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh
panas.
2.
Jumlah
total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam
pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume
pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya.
3.
Bila
dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan pelarut
dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah
kondensor perlu berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang
efektif.
Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan
pelarut murni atau campuran azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk
ekstraksi dengan campuran pelarut, misalnya heksan : diklormetan = 1 : 1, atau
pelarut yang diasamkan atau dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi
yang berbeda dalam pelarut cair di dalam wadah (Fessenden & Fessenden,
1991).
2.4
N-Heksana
Heksana
(C6H14) atau CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3 merupakan pelarut non polar yang tidak
berwarna dan mudah menguap dengan titik didih 69 oC, pada T dan P normal
berbentuk cair. Senyawa ini merupakan fraksi petroleum eter yang ditemukan oleh Castille da Henri. Secara umum
Heksana merupakan senyawa dengan 6 rantai karbon lurus yang didapatkan dari gas
alam dan minyak mentah. Heksana biasanya digunakan dalam pembuatan makanan termasuk
ekstraksi dari minyak nabati (Voight, 1995).
Tabel 2.3 Karakteristik Pelarut Heksana
Karakteristik Pelarut Heksana
|
|
Rumus
Molekul
|
C6H14
|
Massa Molar
|
86,18 gr/mol
|
Titik Leleh
|
0,6548
gr/mol
|
Titik Didih
|
-95oC
(178 K)
|
Densitas
|
69oC
(342 K)
|
Viskositas
|
0,294 Cp
pada 25oC
|
(Sumber:
Voight,
1995)
2.5
Menghitung Rendemen
Dalam kimia, rendemen merujuk pada jumlah produk yang dihasilkan
dari pengambilan
komponen dari suatu bahan.
Rendemen dapat ditulis sebagai berat dalam gram. Rendemen yang digunakan
sebagai perhitungan efektivitas prosedur, dihitung dengan membagi jumlah bahan awal dikurangi produk dengan jumlah awal bahan tersebut
dalam persen. Persamaan rendemen dapat ditulis sebagai (Vogel, 1996):
|
METODOLOGI
PRATIKUM
3.1 Bahan-bahan yang Digunakan
1. Biji
alpukat
2. n-Hexane
3. Batu
didih
4. Kapas
5. Benang
6. Kertas
saring
3.2 Alat-alat yang Digunakan
1. Satu
set/unit alat soklet, yaitu :
a. Kondensor
b. Tabung
soklet
c. Selongsong
d. Penangas
Air
e. Wadah
penangas air
f. Klem
g. Statif
2. Corong
1 buah
3. Oven
4. Blender
5. Timbangan
3.3 Prosedur Percobaan
1. Biji apukat dihaluskan
2. Biji alpukat dioven selama 8 jam
3. Biji alpukat yang telah kering ditimbang
sebanyak 50 gram
4. Selongsong
dibuat dengan menggunakan kertas saring yang telah di oven terlebuh dahulu
5. Selongsong
ditimbang
6. Labu
didih berisi 3 butir batu didih di oven selama 15 menit lalu ditimbang
7. Selongsong
dimasukkan kedalam kolom soklet
8. Kolom
soklet dan labu didih dirangkai di penangas air, pada setiap sambungan diberi
vaselin secukupnya dan tisu dibagian yang akan dipasang klem
9.
Sebelum kondensor
dipasang, kondensor dicek terlebih dahulu agar tidak terjadi kebocoran saat
proses sokletasi berlangsung
10
|
10. Setelah kondensor dicek,
selongsong dimasukkan kedalam kolom
soklet
11. Pelarut
dimasukkan ke kolom soklet dengan
takaran pelarut yang cukup untuk 1
kali refluks
12. Kondensor
dipasang di atas tabung soklet
yang telah diberi vaselin sebelumnya
13. Penangas
air dihidupkan
14. Setelah
beberapa jam, kadar minyak dicek, apabila pelarut
berada tabung soklet masih masih
berwarna, maka proses tetap berlanjut, jika warna pelarut yang ada pada tabung
soklet telah jernih maka proses dihentikan
15. Setelah
proses selesai, alat didinginkan
16. Setelah
dingin, kondensor dilepas untk mengeluarkan selongsong dari kolom soklet
17. Selongsong diperas untuk diambil
pelarut dan minyak yang masih ada pada selongsong
18. Setelah pelarut dan minyak yang telah
diperas dimasukkan kedalam tabung soklet, kondensor dipasang kembali
19. Penangas dihidupkan kembali
20. Proses
destilasi dilakukan untuk mengambil pelarut
21. Pelarut
yang telah diperoleh disimpan
22. Kondensor dan tabung soklet
dilepaskan
23. Minyak
dioven bersama labu didih dasar bulat dan batu didih, kemudian ditimbang hingga
konstan
24. Yield
minyak dihitung
25. Minyak
disimpan
26. Alat
dibersihkan dan dikembalikan pada tempatnya
27. Proses
ekstraksi selesai.
3.4 Rangkaian Alat
9
|
4
|
Keterangan :
1.
Wadah
penangas air
2.
Labu
didih dasar bulat
3.
Tabung
soklet
4.
Kondensor
5.
Selang
6.
Penangas
air
7.
Statip
8.
Klem
9.
Benang
|
8
|
7
|
6
|
5
|
3
|
2
|
1
|
Gambar
3.1 Unit alat
sokletasi
|
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum
Berat
awal sampel : 50 gr
Berat
cawan penguap : 84,845 gr
Berat
labu didih dan batu didih : 207,1 gr
Berat
selongsong :
69,84 gr
Berat
minyak yang didapat : 4,11 gr
4.2. Pembahasan
Hal
pertama yang dilakukan pada percobaan ini adalah membersihkan labu didih,
kemudian merangkai alat sokletasi. Labu didih yang telah dibersihkan
ditambahkan dengan 3 buah batu didih lalu ditimbang. Fungsi dari batu didih
ialah untuk mempercepat proses pendidihan, meratakan panas, dan mencegah
terjadinya bumping (letupan akibat panas yang tidak merata) (Khasani,1990).
Lalu hal berikutnya yang dilakukan adalah menimbang biji buah alpukat yang
telah dihancurkan dan dikeringkan sebanyak 50 gram, yang berikutnya dimasukkan
ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring (selongsong telah dibuat
dan dibuat terlebih dahulu). Biji buah alpukat dihancurkan dengan maksud untuk
memperbesar luas permukaan dan mempermudah pelepasan minyak dari biji oleh
N-heksana.
Selanjutnya
selongsong dimasukkan ke dalam tabung soklet dan disambungkan dengan labu didih
yang dilakukan di pemanas (terlebih dahulu diolesi dengan vaseline pada ujung tepi tabung soklet), berikutnya pengisian
pelarut N-heksana pada tabung soklet sebanyak
525 ml lalu disambungkan dengan kondensor. Kondensor berfungsi untuk
merubah fasa dan mendinginkan uap N-heksana yang naik sehingga uap tersebut
mencair dan turun kembali ke dalam tabung soklet untuk melarutkan minyak.
Setelah semua alat sokletasi terpasang dengan benar, air dialirkan ke kondensor
melalui selang dan diikuti dengan penghidupan pemanas.
13
|
Kemudian
dilakukan proses pengambilan pelarut (distilasi), jumlah pelarut yang diperoleh
tidak sama dengan jumlah pelarut awal, hal ini disebabkan karena N-heksana
mudah menguap dan menguap ketika dilakukan pemasangan dan pelepasan alat
sokletasi. Selanjutnya minyak yang terekstraksi pada labu didih dimasukkan ke
dalam oven (proses pengeringan). Setelah dilakukan pemanasan dilakukan
penimbangan dan diperoleh berat minyak seberat 4,11 gram dengan rendemen yang didapat sebesar 8,22%.
Rendemen berdasarkan teori adalah 1,25-4%
(Prasetyowati, 2010)
sedangkan rendemen yang diperoleh pada percobaan adalah sebesar 8,22 %. Rendemen yang didapat lebih
besar daripada rendemen berdasarkan teori. Hal ini dikarenakan dalam hasil
praktikum yang telah didapat masih terkandung protein dan minyak yang diperoleh pada
percoban tidak banyak karena keadaaan biji alpukat yang tidak sempurna
keringnya, sehingga mempengaruhi banyak minyak yang dihasilkan.
4.2.1 Pengaruh Suhu Terhadap Waktu Refluks
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Suhu Terhadap
Waktu Refluks
Dari
grafik diatas diketahui bahwa , semakin tinggi suhu yang digunakan dalam
pemanasan maka waktu yang dibutuhkan untuk satu kali refluks akan semakin cepat.
Sebaliknya dengan suhu pemanasan yang semakin rendah , maka semakin lama waktu
yang dibutuhkan untuk satu kali refluks. Hal ini disebabkan karena semakin
tinggi suhu yang digunakan dalam pemanasan, maka uap yang akan terbentuk akan
semakin banyak danuap yang akan terkondensasi akan lebih banyak. Sehingga
tabung soklet akan cepat terisi penuh dan terjadi refluks (Prasetyowati, 2010).
|
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
1.
Minyak
yang terekstraksi dari 50 gram biji alpukat adalah 4.11 gram
2.
Rendemen
yang diperoleh dari ekstraksi biji alpukat adalah 8.22%
3.
Dalam
proses sokletasi, semakin tinggi suhu yang digunakan dalam pemanasan maka waktu yang dibutuhkan untuk satu kali
refluks akan semakin cepat.
5.2
Saran
Selama
pratikum, berhati-hati dalam memasang alat sokletasi, serta tidak lupa
mengolesinya dengan vaselin. Lihat kondisi alat sebelum membuka kembali susunan
alat sokletasi, lebih baik ditunggu hingga dingin. Saat proses ekstraksi,
praktikan hendaknya selalu mengawasi percobaan agar tidak ada refluks yang
terlewati.
15
|
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, dkk. 2012. “Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji
Alpukat (Persea Gratissima) Menggunakan Katalis Heterogen Kalsium Oksida
(CaO),” Jurnal Teknik Kimia
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta: Diktorat Jendral POM-Depkes RI.
Fessenden & Fessenden. 1991. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
Guenter, E. 1987. Minyak
Atsiri.
Jilid 1. Jakarta: UI Press.
Khasani,
Soemanto Imam. 1990. Keselamatan Kerja dalam Laboratorium Kimia. Jakarta: Gramedia.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.
Cetakan Pertama. Jakarta : UI-Press.
Nazarudin, dkk. 1992. Pengembangan Minyak Biji Karet di Indonesia. Surabaya:. Indonesian
Press.
Prasetyowati, dkk. 2010. “Pengambilan
Minyak Biji Alpukat (Persea Americana Mill) dengan Metode
Ekstraksi,”
Jurnal Teknik Kimia, No. 2, Vol. 17.
Rachimoellah,
et. al. 2009. “Production of Biodiesel through Transesterification of
Avocado (Persea Gratissima) Seed Oil Using Base Catalyst,” Jurnal Teknik Mesin,
Vol. 11, No. 2.
Rohmana,
Yana. 2010. Ekonomika : Teori dan
Aplikasi dengan Eviews. Bandung: Laboratorium Pendidikan Ekonomi dan Koperasi FPEB UPI.
Sies, H. 1993. Strategies of Antioxidant
Defense. European Journal of Biochemistry (215):213-219.
Vogel,
A.I. 1996. Vogel's Textbook of Practical
Organic Chemistry, 5 thedition.
New York: Longman Scientific & Technical.
Voight,
R. 1995. Buku pelajaran teknologi farmasi, diterjemahkan oleh
soendani N.S., UGM Press ,Yogyakarta
Winarti, S. dan Y. Purnomo, 2006.
Olahan Biji Buah. Surabaya: Trubus Agrisarana.
Winarno,F.G.1992.
Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka.