Tuesday 10 July 2018

laporan praktikum kimia organik Proses Ekstraksi Sokletasi “Isolasi Minyak Biji Alpukat”


BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Dewasa ini, hampir 80% kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh bahan bakar fosil.  Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, tidak mempunyai efek terhadap kesehatan, dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dan dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan minyak diesel. Bahan baku yang berpotensi sebagai bahan baku pembuat biodiesel antara lain kelapa sawit, kedelai, jarak pagar, biji alpukat dan beberapa jenis tumbuhan lainnya.
Pusat penelitian kelapa sawit (PPKS) telah berhasil mengembangkan palm biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO). Namun CPO lebih baik digunakan untuk minyak goreng. Walaupun kandungan minyak alpukat masih lebih rendah bila dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, tetapi kandungan minyak biji alpukat lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman-tanaman seperti kedelai, jarak, biji bunga matahari dan kacang tanah. Selain itu, pemanfaatan biji alpukat sampai sekarang hanya digunakan sebagai obat penghilang stress saja dan belum dimanfaatkan untuk yang lainnya. Padahal biji alpukat memiliki kandungan fatty acid methyl ester sebagai bahan pembuat biodiesel. Biji alpukat terdiri dari 65% daging buah (mesokarp), 20% biji (endocarp), dan 15% kulit buah (perikarp). Menurut Prasetyowati(2010), biji alpukat mengandung 15–20 % minyak.
Jadi dalam percobaan ini, bahan utama yang digunakan adalah biji alpukat. Selain karna bahannya mudah didapat, kita juga  dapat mengurangi limbah biji alpukat di kalangan masyarakat. Banyak sekali metode ekstraksi yang dapat digunakan untuk memisahkan suatu komponen dari campurannya. Pada percobaan ini, biji alpukat memiliki tekstur yang lunak, tidak tahan panas, serta memiliki kadar minyak yang sedikit. Oleh karena itu metode yang digunakan adalah ekstrasi dengan pelarut yaitu sokletasi. Dimana pelarut yang digunakan adalah n-heksana, sebab n-heksana memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan titik didih minyak biji alpukat, lebih mudah menguap, mudah dicari serta harganya lebih murah.

1.2         Tujuan Percobaan
1.    Mempelajari dan mengamati proses isolasi suatu komponen dari suatu bahan alam dengan metode sokletasi
2.    Menghitung rendemen minyak alpukat yang dihasilkan
1
 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1     Biji Alpukat
Tanaman alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat (batak), advokat, jamboo mentega, jambo pooan, pookat (Lampung) dan lain-lain. Tanaman alpukat berasal dari dataran rendah/tinggi Amerika Tengah dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-18. Secara resmi sekitar 1920-1930 Indonesia telah memperkenalkan 20 varietas alpukat dari Amerika Tengah dan Amerika Serikat untuk memperoleh varietas unggul dalam meningkatkan kesehatan dan gizi masyarakat, khususnya di daerah dataran tinggi (Rohanna, 2010).
Pohon alpukat dapat hidup pada ketinggian 5-1500 meter di atas permukaan laut dan tumbuh sangat subur pada 1000 meter di atas permukaan laut. Iklim yang paling baik untuk proses penanaman dan pertumbuhan alpukat memiliki kecepatan angin <62,4-73,6 km/jam untuk proses penyerbukan, curah hujan minimum 750-1000 mm/tahun, intensitas 40-80% dan suhu optimum 12,8-28,3oC. Untuk tanah atau media yang digunakan tanaman alpukat juga harus tanah yang gembur dengan sistem pengairan baik, subur, dan banyak mengandung bahan organik. Jenis tanah yang biasa digunakan adalah jenis tanah berpasir, lempung liat, dan lempung endapan dengan pH 5,6-6,4 (Rohanna, 2010).
2
Buah alpukat berbentuk bola atau bulat telur dengan panjang 10-20 cm, warnanya hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu atau ungu sama sekali, berbiji satu, daging buah jika sudah masak lunak, warnanya hijau kekuningan. Berat buahnya antara 0,3-0,4 kg. Kulit buahnya tebal 1 mm berwarna hijau tua saat matang. Daging buah berwarma kuning kehijauan dengan tebal sekitar 1,5 cm. Biji bulat seperti bola, diameter 2,5-5 cm, keping biji putih kemerahan. Alpukat berkembang biak dengan cara generatif dimana bunganya akan menjadi biji dan buah. Dengan biji, alpukat akan memperbanyak generasinya (Rohanna, 2010).

Gambar 2.1 Alpukat
(Ayu, 2012)
Biji alpukat memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi, sehingga biji alpukat dapat dijadikan bahan baku biodiesel yang ekonomis dan ramah lingkungan. Adapun kandungan dari biji alpukat adalah senyawa polifenol, flavonoid, triterpenoid, kuinon, tanin, monoterpenoid, dan seskuiterpenoid. Alpukat merupakan buah yang memiliki banyak manfaat. Adapun manfaat alpukat yaitu sebagai bahan pangan penambah, bahan kosmetik, mengontrol berat badan, sumber antioksidan, pencegah stroke, menjaga kesehatan mata, dan bahan baku biodiesel (Prasetyowati, 2010).

2.2     Minyak Biji Alpukat
Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air. Sifat kelarutan ini yang membedakan lipida dari golongan senyawa alam penting lain seperti protein dan karbohidrat yang pada umumnya tidak larut dalam pelarut nonpolar . Lemak merupakan bahan padat pada suhu ruang disebabkan kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang tidak memiliki ikatan rangkap, sehingga mempunyai titik lebur yang lebih tinggi, sedangkan minyak merupakan bahan cair pada suhu ruang disebabkan tingginya kandungan asam lemak yang tidak jenuh, yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap diantara atom-atom karbonnya, sehingga mempunyai titik lebur yang rendah (Winarno, 1992).
Menurut Rachimullah et al. (2009), minyak biji alpukat memiliki komposisi asam lemak yang tersusun oleh 10 asam lemak dengan kandungan asam lemak terbesar adalah asam oleat (C12H33COOH) yaitu 70,54% dan asam palmitat (C15H31COOH) sebanyak 11,85%. Komposisi asam lemak pada minyak biji alpukat dapat diihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi asam lemak minyak biji alpukat
Asam Lemak
Total (%)
Asam Palmiat (C16:1)
11,85
Asam Palmitoleat (C16:1)
3,98
Asam Stearat (C18:0)
0,87
Asam Linolenat (C18:3)
0,87
Asam Arachidik (C20:0)
0,50
Asam Linoleat (C18:2)
9,45
Asam Oleat (C18:1)
70,54
Asam Eliosenik (C20:1)
0,39
Asam Bechenat (C22:0)
0,61
Asam Lignoserat (C24:0)
0,34
(Sumber: Racimullah et al, 2009)
Minyak biji alpukat yang baru diekstrak biasanya berwarna kuning kecoklatan dan berbau khas minyak biji alpukat. Karakteristik kimia minyak biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Karakteristik Kimia Minyak Biji Apukat
Karakteristik
Jumlah
FFA
0,367%-0,82%
Bilangan Iodin (mg iodine/g)
246,840
Bilangan Asam (mg KOH/g)
42,664
Bilangan Ester
5,200
Bilangan Peroksida
241,640
Bilangan Saponifikasi (mg KOH/g)
3,3
Bahan yang tak tersabunkan
15,250 %
(Sumber : Winarti dan Purnomo, 2006)
Minyak dan lemak selain terdiri dari asam lemak, juga mengandung senyawa antioksidan. Antioksidan berdasarkan kelarutannya dapat digolongkan menjadi dua yaitu: antioksidan larut dalam air (antioxidant water soluble) dan antioksidan larut dalam lemak (antioxidant lipid soluble). Antioksidan yang larut dalam lemak meliputi ubiqinon, protein plasma, glutation sulfhidril (GSH), asam urat, karotenoid, retinoid, tokoferol dan flavonoid (Sies, 1993).
Metode yang digunakan untuk memperoleh minyak biji alpukat pada penelitian ini yaitu dengan ekstraksi. Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen – komponen dalam larutan berdasarkan perbedaan kelarutannya/solubilitas. Metode ini memanfaatkan perbedaan kelarutan antara minyak dan bahan – bahan lain di dalam biji biji alpukat terhadap pelarut. Sifat selektivitas pelarut yang digunakan menentukan tingkat kemurnian minyak biji alpukat yang diperoleh. Oleh karena itu, pemilihan jenis pelarut memegang peranan yang sangat penting. Cara kerja ekstraksi dengan pelarut yaitu dengan cara memasukkan bahan yang diekstraksi ke dalam soklet. Ekstraksi berlangsung secara sistematik pada suhu tertentu dengan menggunakan pelarut. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam bahan. Minyak hasil ekstraksi dengan pelarut mempunyai keunggulan yaitu bau yang mirip bau alamiah (Guenther,1987).

2.3     Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pembuatan ekstrak bahan alam dimana ekstraksi ini dilakukan untuk menarik komponen kimia pada bahan alam (Harborne 1987). Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini bermacam-macam, yaitu rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical expression, dan solvent extraction (Ketaren, 1986).

2.3.1 Rendering
Menurut Ketaren (1986), rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi. Pada semua cara rendering, penggunaan panas adalah suatu hal yang spesifik, yang bertujuan untuk mengumpulkan protein pada dinding sel bahan dan untuk memecahkan dinding sel tersebut sehingga mudah ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya.
Menurut Winarno (1991), rendering merupakan suatu cara yang sering digunakan untk mengekstraksi minyak hewan dengan cara pemanasan. Pemanasan dapat dilakukan dengan air panas. Lemak akan mengapung di permukaan sehingga dapat dipisahkan. Pemanasan tanpa air biasanya dipakai untuk mengekstraksi minyak babi dan lemak susu. Secara komersial rendering dilakukan dengan menggunakan ketel vakum. Protein akan rusak oleh panas dan air akan menguap sehingga lemak dapat dipisahkan. Rendering terbagi dua yaitu wet rendering dan dry rendering.
Wet rendering adalah proses rendering dengan penambahan sejumlah air selama berlangsungnya proses tersebut. Cara ini dikerjakan pada ketel yang terbuka atau tertutup dengan menggunakan temperature ang tinggi serta tekanan 40 sampai 60 pound tekanan uap (40-60 psi). Peralatan yang digunakan adalah autoclave atau digester. Air dan bahan yang akan diekstraksi dimasukkan kedalam digester dengan tekanan uap air sekitar 40 sapai 60 pound selama 4-6 jam (Winarno,1991).
Dry rendering adalah cara rendering tanpa penambahan air selama proses berlangsung. Dry rendering dalam ketel yang terbuka dan diperlengkapi dengan steam jacket serta alat pengaduk (Winarno,1991).

2.3.2  Mechanical Expression (Pengepresan Mekanis)
Pegepresan mekanis merupakan saut cara ekstraksi minyak atau lemak, terutama untuk bahan yang berasal dari biji-bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30-70%). Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atua lemak dipisahkan dari bijinya. Perlakuan pendahuluan tersebut mencakup pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta tempering atau pemasakan (Ketaren, 1986).
Pada cara pengepresan hidraulik, bahan dipres dengan tekanan sekitar 2000 pound per inch2. Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal, sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil bervariasi sekitar 4-6%, tergantung dari lamanya bungkil ditekan dibawah pres hidraulik (Ketaren, 1986).
Gambar 2.2 Pengepresan hidraulik (Ayu, 2012)
Cara pengepresan berulir memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri dari proses pemasakan. Proses pemasakan berlangsung pada temperatur 240oF dengan tekanan sekitar 15-20 ton/inch2. Kadar air minyak atau lemak yang dihasilkan berkisar sekitar 2,5-3,5%, sedangkan bungkil yang dihasilkan masih mengandung minyak sekitar 4-5%. Cara lain untuk mengekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak adalah gabungan proses wet rendering dengan pengepresan secara mekanik atau dengan sentrifusi (Ketaren, 1986).
Gambar 2.3 Pengepresan berulir (Ayu,2012)
2.3.3 Ekstraksi Pelarut
Cara ekstraksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut dan digunakan untuk bahan yang kandungan minyaknya rendah. Lemak dalam bahan dilarutkan dengan pelarut. Tetapi cara ini kurang efektif, karena pelarut mahan dan lemak yang diperoleh harus dipisahkan dari pelarutnya dengan cara diuapkan. Sleain itu, ampasnya harus dipisahkan dari pelarut yang tertahan, sebelum dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak. Ada tiga metode ekstraksi pelarut yaitu maserasi, perkolasi, dan sokletasi (Ketaren, 1986).
Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dengan pelarut yang cocok untuk senyawa yang akan dicari dan dilakukan berulang-ulang hingga senyawa tersebut habis dari sampel yang ditandai dengan warna pelarut yang berubah menjadi bening setelah perendaman. Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungnan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk saat penghalusan ekstraksi (difusi) bahan kandungan sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk ke dalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir (Ketaren, 1986).
Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Ketaren, 1986).
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurnya (Exhaustiva extraction) yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk sample sisa pada suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/ penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000).
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalau baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi yang dilakukan menggunakan metoda sokletasi, yakni sejenis ekstraksi dengan pelarut organik yang dilakukan secara berulang- ulang dan menjaga jumlah pelarut relatif konstan, dengan menggunakan alat soklet. Minyak nabati merupakan suatu senyawa trigliserida dengan rantai karbon jenuh maupun tidak jenuh. Minyak nabati umumnya larut baik dalam pelarut organik, seperti benzen dan heksan. Untuk mendapatkan minyak nabati dari bagian tumbuhan dapat dilakukan metode sokletasi dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Nazarudin, 1992).
Proses sokletasi digunakan untuk ekstraksi lanjutan dari suatu senyawa dari material atau bahan padat dengan pelarut panas. Alat yang digunakan adalah labu didih, ekstraktor dan kondensor. Sampel dalam sokletasi perlu dikeringkan sebelum disokletasi. Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk mengilangkan kandungan air yang terdapat dalam sample sedangkan dihaluskan adalah untuk mempermudah senyawa terlarut dalam pelarut. Di dalam sokletasi digunakan pelarut yang mudah menguap. Pelarut itu bergantung pada tingkatannya, polar atau non polar (Nazarudin, 1992).
Bila penyaringan telah selesai maka pelarut yang telah di uapkan kembali adalah zat yang bersisa. Dietil eter merupakan pelarut yang baik untuik hidrokarbon danuntuk senyawa yang mengandung oksigen proses penyaringan yang berulang ulang pada proses sokletasi bergantung pada tetesan yang mengalir pada bahan yang di ekstraksi. Sampel pelarut yang digunakan bening atau tidak berwarna lagi. Umumnya prosedur sokletasi hanya pengulangan,sistematis dan pemisahan dengan menggunakan labu untuk ekstraksi sederhana tetapi lebih merupakan metoda yang spesial,dan alat yang digunakan lebih kompleks. Oleh karena itu alat soklet cenderung mahal (Nazarudin, 1992).
 Menurut Guenther (1987), syarat-syarat pelarut yang digunakan dalam proses sokletasi:
1.             Pelarut yang mudah menguap, misalnya n-heksana, eter, petroleum eter, metil klorida dan alkohol;
2.             Titik didih pelarut rendah;
3.             Pelarut dapat melarutkan senyawa yang diinginkan;
4.             Pelarut tersebut akan terpisah dengan cepat setelah pengocokan; dan
5.             Sifat sesuai dengan senyawa yang akan diisolasi (polar atau nonpolar)
Menurut Guenther (1987), Keuntungan metode ini adalah :   
1.             Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung.
2.             Digunakan pelarut yang lebih sedikit
3.             Pemanasannya dapat diatur
Menurut Guenther (1987), Kerugian dari metode ini :
1.             Karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas.
2.             Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya. 
3.             Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah kondensor perlu berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang efektif.
 Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut, misalnya heksan : diklormetan = 1 : 1, atau pelarut yang diasamkan atau dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam pelarut cair di dalam wadah (Fessenden & Fessenden, 1991).

2.4     N-Heksana
         Heksana (C6H14) atau CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3 merupakan pelarut non polar yang tidak berwarna dan mudah menguap dengan titik didih 69 oC, pada T dan P normal berbentuk cair. Senyawa ini merupakan fraksi petroleum eter yang ditemukan oleh Castille da Henri. Secara umum Heksana merupakan senyawa dengan 6 rantai karbon lurus yang didapatkan dari gas alam dan minyak mentah. Heksana biasanya digunakan dalam pembuatan makanan termasuk ekstraksi dari minyak nabati (Voight, 1995).
Tabel 2.3 Karakteristik Pelarut Heksana
Karakteristik Pelarut Heksana
Rumus Molekul
C6H14
Massa Molar
86,18 gr/mol
Titik Leleh
0,6548 gr/mol
Titik Didih
-95oC (178 K)
Densitas
69oC (342 K)
Viskositas
0,294 Cp pada 25oC
(Sumber: Voight, 1995)            

2.5     Menghitung Rendemen
Dalam kimia, rendemen merujuk pada jumlah produk yang dihasilkan dari pengambilan komponen dari suatu bahan. Rendemen dapat ditulis sebagai berat dalam gram. Rendemen yang digunakan sebagai perhitungan efektivitas prosedur, dihitung dengan membagi jumlah bahan awal dikurangi produk dengan jumlah awal bahan tersebut dalam persen. Persamaan rendemen dapat ditulis sebagai (Vogel, 1996):

.............................................................(2.1)


BAB III
METODOLOGI PRATIKUM
3.1  Bahan-bahan yang Digunakan
1.      Biji alpukat
2.      n-Hexane
3.      Batu didih
4.      Kapas
5.      Benang
6.      Kertas saring
3.2  Alat-alat yang Digunakan
1.      Satu set/unit alat soklet, yaitu :
a.    Kondensor
b.    Tabung soklet
c.    Selongsong
d.    Penangas Air
e.    Wadah penangas air
f.     Klem
g.    Statif
2.      Corong 1 buah
3.      Oven
4.      Blender
5.      Timbangan
3.3  Prosedur Percobaan
1.      Biji apukat dihaluskan
2.      Biji alpukat dioven selama 8 jam
3.      Biji alpukat yang telah kering ditimbang sebanyak 50 gram
4.      Selongsong dibuat dengan menggunakan kertas saring yang telah di oven terlebuh dahulu
5.      Selongsong ditimbang
6.      Labu didih berisi 3 butir batu didih di oven selama 15 menit lalu ditimbang
7.      Selongsong dimasukkan kedalam kolom soklet
8.      Kolom soklet dan labu didih dirangkai di penangas air, pada setiap sambungan diberi vaselin secukupnya dan tisu dibagian yang akan dipasang klem
9.     
10
Sebelum kondensor dipasang, kondensor dicek terlebih dahulu agar tidak terjadi kebocoran saat proses sokletasi berlangsung
10.  Setelah kondensor dicek, selongsong dimasukkan  kedalam kolom soklet
11.  Pelarut dimasukkan ke kolom soklet dengan takaran pelarut yang cukup untuk 1  kali refluks
12.  Kondensor dipasang di atas tabung soklet yang telah diberi vaselin sebelumnya
13.  Penangas air dihidupkan
14.  Setelah beberapa jam, kadar minyak dicek, apabila pelarut berada  tabung soklet masih masih berwarna, maka proses tetap berlanjut, jika warna pelarut yang ada pada tabung soklet telah jernih maka proses dihentikan
15.  Setelah proses selesai, alat didinginkan
16.  Setelah dingin, kondensor dilepas untk mengeluarkan selongsong dari kolom soklet
17.  Selongsong diperas untuk diambil pelarut dan minyak yang masih ada pada selongsong
18.  Setelah pelarut dan minyak yang telah diperas dimasukkan kedalam tabung soklet, kondensor dipasang kembali
19.  Penangas dihidupkan kembali
20.  Proses destilasi dilakukan untuk mengambil pelarut
21.  Pelarut yang telah diperoleh disimpan
22.  Kondensor dan tabung soklet dilepaskan
23.  Minyak dioven bersama labu didih dasar bulat dan batu didih, kemudian ditimbang hingga konstan
24.  Yield minyak dihitung
25.  Minyak disimpan
26.  Alat dibersihkan dan dikembalikan pada tempatnya
27.  Proses ekstraksi selesai.






3.4  Rangkaian Alat

9
4
Keterangan :
1.      Wadah penangas air
2.      Labu didih dasar bulat
3.      Tabung soklet
4.      Kondensor
5.      Selang
6.      Penangas air
7.      Statip
8.      Klem
9.      Benang

8
7
6
5
3
2
1
 

Gambar 3.1 Unit alat sokletasi













BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1     Hasil Praktikum
Berat awal sampel                      : 50 gr
Berat cawan penguap                 : 84,845 gr
Berat labu didih dan batu didih  : 207,1 gr
Berat selongsong                                    : 69,84 gr
Berat minyak yang didapat         : 4,11 gr

4.2.    Pembahasan
          Hal pertama yang dilakukan pada percobaan ini adalah membersihkan labu didih, kemudian merangkai alat sokletasi. Labu didih yang telah dibersihkan ditambahkan dengan 3 buah batu didih lalu ditimbang. Fungsi dari batu didih ialah untuk mempercepat proses pendidihan, meratakan panas, dan mencegah terjadinya bumping (letupan akibat panas yang tidak merata) (Khasani,1990). Lalu hal berikutnya yang dilakukan adalah menimbang biji buah alpukat yang telah dihancurkan dan dikeringkan sebanyak 50 gram, yang berikutnya dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring (selongsong telah dibuat dan dibuat terlebih dahulu). Biji buah alpukat dihancurkan dengan maksud untuk memperbesar luas permukaan dan mempermudah pelepasan minyak dari biji oleh N-heksana.
          Selanjutnya selongsong dimasukkan ke dalam tabung soklet dan disambungkan dengan labu didih yang dilakukan di pemanas (terlebih dahulu diolesi dengan vaseline pada ujung tepi tabung soklet), berikutnya pengisian pelarut N-heksana pada tabung soklet sebanyak  525 ml lalu disambungkan dengan kondensor. Kondensor berfungsi untuk merubah fasa dan mendinginkan uap N-heksana yang naik sehingga uap tersebut mencair dan turun kembali ke dalam tabung soklet untuk melarutkan minyak. Setelah semua alat sokletasi terpasang dengan benar, air dialirkan ke kondensor melalui selang dan diikuti dengan penghidupan pemanas.
13
              Proses sokletasi berlangsung, dimana pelarut (N-heksana) yang telah menguap ke kondensor menetes kembali ke tabung soklet dan membasahi sampel sampai tinggi pelarut dalam tabung soklet (diselongsong) sama tinggi dengan pelarut pada pipa sifon, lalu pelarut seluruhnya akan masuk kembali ke dalam labu didih dan begitu seterusnya (efek sifon). Proses ini berlangsung selama kurang lebih 5  jam, dengan refluks sebanyak 22 kali. Setelah proses sokletasi dianggap selesai, lalu selongsong dikeluarkan dari tabung soklet .
              Kemudian dilakukan proses pengambilan pelarut (distilasi), jumlah pelarut yang diperoleh tidak sama dengan jumlah pelarut awal, hal ini disebabkan karena N-heksana mudah menguap dan menguap ketika dilakukan pemasangan dan pelepasan alat sokletasi. Selanjutnya minyak yang terekstraksi pada labu didih dimasukkan ke dalam oven (proses pengeringan). Setelah dilakukan pemanasan dilakukan penimbangan dan diperoleh berat minyak seberat 4,11 gram dengan rendemen yang didapat sebesar 8,22%.     Rendemen berdasarkan teori adalah 1,25-4% (Prasetyowati, 2010) sedangkan rendemen yang diperoleh pada percobaan adalah sebesar 8,22 %. Rendemen yang didapat lebih besar daripada rendemen berdasarkan teori. Hal ini dikarenakan dalam hasil praktikum yang telah didapat masih terkandung protein dan minyak yang diperoleh pada percoban tidak banyak karena keadaaan biji alpukat yang tidak sempurna keringnya, sehingga mempengaruhi banyak minyak yang dihasilkan.

4.2.1 Pengaruh Suhu Terhadap Waktu Refluks
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Suhu Terhadap Waktu Refluks

Dari grafik diatas diketahui bahwa , semakin tinggi suhu yang digunakan dalam pemanasan maka waktu yang dibutuhkan untuk satu kali refluks akan semakin cepat. Sebaliknya dengan suhu pemanasan yang semakin rendah , maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk satu kali refluks. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu yang digunakan dalam pemanasan, maka uap yang akan terbentuk akan semakin banyak danuap yang akan terkondensasi akan lebih banyak. Sehingga tabung soklet akan cepat terisi penuh dan terjadi refluks (Prasetyowati, 2010).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1         Kesimpulan
1.    Minyak yang terekstraksi dari 50 gram biji alpukat adalah 4.11 gram
2.    Rendemen yang diperoleh dari ekstraksi biji alpukat adalah  8.22%
3.    Dalam proses sokletasi, semakin tinggi suhu yang digunakan dalam pemanasan  maka waktu yang dibutuhkan untuk satu kali refluks akan semakin cepat.

5.2         Saran
Selama pratikum, berhati-hati dalam memasang alat sokletasi, serta tidak lupa mengolesinya dengan vaselin. Lihat kondisi alat sebelum membuka kembali susunan alat sokletasi, lebih baik ditunggu hingga dingin. Saat proses ekstraksi, praktikan hendaknya selalu mengawasi percobaan agar tidak ada refluks yang terlewati.

















15
 

DAFTAR PUSTAKA
Ayu, dkk. 2012. “Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Alpukat (Persea Gratissima) Menggunakan Katalis Heterogen Kalsium Oksida (CaO),” Jurnal Teknik Kimia
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Diktorat Jendral POM-Depkes RI.
Fessenden & Fessenden. 1991. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
Guenter, E. 1987. Minyak Atsiri. Jilid 1. Jakarta: UI Press.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Moderen Menganalisa Tumbuhan. Bandung: ITB.
Khasani, Soemanto Imam. 1990. Keselamatan Kerja dalam Laboratorium Kimia. Jakarta: Gramedia.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan Pertama. Jakarta : UI-Press.
Nazarudin, dkk. 1992. Pengembangan Minyak Biji Karet di Indonesia. Surabaya:. Indonesian Press.
Prasetyowati, dkk. 2010. “Pengambilan Minyak Biji Alpukat (Persea Americana  Mill) dengan Metode Ekstraksi,” Jurnal Teknik Kimia, No. 2, Vol. 17.
Rachimoellah, et. al.  2009. “Production of Biodiesel through Transesterification of Avocado (Persea Gratissima) Seed Oil Using Base Catalyst,” Jurnal Teknik Mesin, Vol. 11, No. 2.
Rohmana, Yana. 2010. Ekonomika : Teori dan Aplikasi dengan Eviews. Bandung: Laboratorium Pendidikan Ekonomi dan Koperasi FPEB UPI.
 Sies, H. 1993. Strategies of Antioxidant Defense. European Journal of Biochemistry (215):213-219.
Vogel, A.I. 1996. Vogel's Textbook of Practical Organic Chemistry, 5 thedition. New York: Longman Scientific & Technical.
Voight, R. 1995. Buku pelajaran teknologi farmasi, diterjemahkan oleh soendani N.S., UGM Press ,Yogyakarta
Winarti, S. dan Y. Purnomo, 2006. Olahan Biji Buah. Surabaya: Trubus Agrisarana.
Winarno,F.G.1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.