Tuesday 10 July 2018

bersatu dalam keragaman dan demokrasi

A.  Demokrasi dalam Islam
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFc5s_KDUL-C7umAHRZ7fA5Yx1TJBSY-5LHgOjW97-FNVhXespwn038L9YBEaRfi743rIvRemgAq8LUVO95Sh7CvvmlT1yKLnrbRERDKoirVNuIIn7KqSjOQT2caaxBiHx42-wgdP_hAqz/s1600/quran-2.jpg
Di dalam Qur’an, Q.S.Ali imran ayat 159 merupakan salah satu ayat yang berisi pesan-pesan mulia tentang bersikap demokratis, musyawarah dan toleransi dalam perbedaan.
1.     QS. Ali ‘Imran Ayat 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَا وِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُتَوَكِّلِيْنَ.

Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[1]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya

2.    Penerapan Tajwid
Kalimat
Hukum Bacaan
Alasan
فَبِمَا
Mad Tabi’i
Fathah diikuti alif
رَحْمَةٍ مِنَ
Idgam Bigunnah
Tanwin diikuti huruf mim
لِنْتَ
Ikhfa
Nun sukun diikuti huruf Ta’
فَظًّا غَلِيْظَ
Izhar
Tanwin diikuti huruf Ghain
لَا نْفَضُوْا
Ikhfa
Nun sukun diikuti huruf Fa’
مِنْ حَوْلِكَ
Izhar
Nun sukun diikuti huruf Ha
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
Izhar syafawi
Mim sukun diikuti huruf wawu
فِي الْأَمْرِ
Izhar Qamariyah
Alif lam sukun diikuti huruf hamzah
عَلَى اللهِ
Lam tafkhim
Lafaz jalalah datang setelah fathah
المُتَوَكِّلِيْنَ.
Mad Arid lissukun
Mad thabi’i diikuti huruf hidup lalu dibaca waqaf

3.    Kosa kata baru
Kata
Arti
Kata
Arti
فَبِمَا رَحْمَةٍ
Karena kasih sayang/rahmat
وَاسْتَغْفِرْ
Dan mintakanlah ampunan
مِنَ اللهِ
Dari Allah
لَهُمْ
Untuk mereka
لِنْتَ
Kamu bersikap lemah lembut
وَشَا وِرْهُمْ
Dan bermusyawarahlah dengan mereka
لَهُمْ
Kepada mereka
فِي الْأَمْرِ
Dalam segala urusan
فَظًّا
Kasar (dalam perkataan)
فَإِذَا
Maka apabila
غَلِيْظَ الْقَلْبِ
Keras hati
عَزَمْتَ
Kamu bertekad bulat
لَا نْفَضُوْا
Niscaya mereka bubar/menjauh
فَتَوَكَّلْ
Bertawakallah
مِنْ حَوْلِكَ
Dari hadapanmu / sekelilingmu
يُحِبُّ
Mencintai
فَاعْف عَنْهُمْ ُ
Maka maafkanlah mereka
المُتَوَكِّلِيْنَ
Orang-orang yang bertawakal

4.    Munasabah / Asbabun Nuzul
Sebab – sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad saw adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang Badar, Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar  ra dan Umar bin Khaththab ra untuk meminta pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar (HR. Kalabi).[2]

5.    Tafsir QS. Ali ‘Imran ayat 159
Menurut Ibnu Kaisan, Maa  adalah Maa  Nakirah yang berada pada posisi majrur dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.[3]
Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.[4] Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin

Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.

Disamping itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan – putusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.[5]

M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nbi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukuo banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus, dan lain lain.

Jika demikian, maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain sebagaiman dipahami dari huruf (ما)  maa yang digunakan disini dalam kontek penetapan rahmat-Nya – disebabkan karena rahmat Allah itu – engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangaikasar kata lagi berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,disebabkan oleh antipati terhadapmu. Karena perangimu tidak seperti itu maka maafkanlahkesalahan – kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan kepada Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah dengan merekadalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan daln urusan dunia, bukan urusan syari’at atau agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkantekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah sambil bertawakal kepadaAllahsesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan membimbing mereka kearah apa yang mereka harapkan.

Firman-Nya: maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allahengkau berlaku lemah lembut terhadap mereka dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”. Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur’an, tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Adapun kandungan dari QS. Ali ‘Imran aayt 159 adalah sebagai berikut:
Pertama: Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat maaf, Allah SWT memerintahkan beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.
Kedua: Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman Nya“sedang urusan mereka (diputuskan dengan musyawarat antara mereka”
Ketiga: Firman Allah SWT: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.Menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab, Allah  SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Allah SWT kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau.

Sekelompok ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah SWT telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”.[6]

Kelompok lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada wahyu tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka berkata, “Allah SWt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada mereka dan agar umat beliau dapat menauladaninya.[7]
Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hokum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal”. Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum sempurna”.[8]
Maka apabila orang yang memenuhi criteria di atas diajak untuk bermusyawarah dan  dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya.
Kelima:keriteriaorang yang diajak bermusyawarah  dalam  masalah  kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah. Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki pengalaman, sebab dia akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara gratis”.
Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah  SWT telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.
Ketujuh: Firman Allah SWT  “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.
Kedelapan: Firman Allah SWT“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”. Tawakal artinya berpegang teguh kepada Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat tentang Tawakal. Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada Allah, baik takut kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.”[9]

6. Ayat dan Hadis terkait
a. Nabi Muhammad saw bersabda : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”(HR. Asyhari)
b. Dari abi burdah ia berkata: Nabi Muhammad mengutus kakekku abu musa dan mu’adz ke Yaman lalu bersabda: permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menjauhkan( membuat orang lari) dan berlemah lembutlah.” (HR. Bukhari muslim).[10]
c. Al-Qur’an Surat Al-Fath ayat 29:
  
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[11]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

B.  DEMOKRASI DAN SYURA
1.   DEMOKRASI
 Secara kebahasaan demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata. “Kata demokrasi yang dalam bahasa Inggris “democracy berasal dari kata Yunani yaitu demos = rakyat, dan kratos = pemerintahan.  Secara istilah demokrasi ini dapat di tinjau dari dua segi makna.
Pertama demokrasi dipahami sebagai suatu konsep yang berkembang dalam kehidupan politik pemerintah, yang didalamnya terdapat penolakan terhadap adanya kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang dan mengkehendaki peletakan kekuasaan di tangan orang banyak baik secara langsung maupun dalam perwakilan.
Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang menghargai hak-hak dan kemampuan individu dalam kehidupan masyarakat.



2.   SYURA
Menurut bahasa, dalam kamus Mu’jam maqayis al – lugah, syura memiliki dua pengertian yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu. Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama telah memberikan definisi seperti berikut.
a.    Ar Raghib al asfahani dalam kitabnya Al mufradat fi ghabrib al quran mendefinisikan syura sebagai “proses mengemukakan pendapat dengan saling mengoreksi antara peserta syura.”
b.    Ibnu Al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam al-Quran, mendefinisikan dengan “berkumpul untuk meminta pendapat yang peserta syuranya saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki”
c.    Asy syura fi zilli Nizami al-hukm al-islami “ proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”

3.   Ciri Sistem Demokrasi dalam Pandangan Islam
a.    Berada di bawah payung agama Islam
b.    Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya yang tentunya sesuai dengan nilai-nilai Islam
c.    Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah
d.    Suara mayoritas tidak bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah
e.    Musyawarah hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; manusia hanya boleh membahas mengenai masalah yang bersifat teknis
f.     Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama Islam
g.    Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

4.   Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam
a.    QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159
  
b.    Al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana, tidak boleh kolusi dan nepotis.
c.    Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain :
Ø  an-Nahl ayat 90





Ø  QS.Al-Maidah ayat 8
d.    Al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
                        Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13.

e.    Al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’ ayat 58.
  1. Al-Masuliyyah adalah tanggung jawab.
  2. Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.

C.  PANDANGAN ULAMA TENTANG DEMOKRASI
1.   Al-Maududi
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqKzTnOU2eVRn30eKuOhzO-wqLyQm3i_kcpY2cVxzQrBGPrdTc6aJDd1p_LIJhZ-c5Yc_mmGQ4qqmnlLITS5XfQUY97-baclXTnzn3Md8aHsjfnnfK6j1HPtcjFXF0wn7f6kGgweolNJ8L/s1600/Abul+A'la+Al-Maududi.jpg
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

2.   Mohammad Iqbal
http://www.sunni-news.net/rtb_uploaded_images/Iqbal.jpg
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
– Tauhid sebagai landasan asasi.
– Kepatuhan pada hukum.
– Toleransi sesama warga.
– Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
– Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.

3.   Muhammad Imarah
https://kelabbukukaherah.files.wordpress.com/2014/02/muhammad-imarah.jpg
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

4.   Yusuf al-Qardhawi
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNTNh0Pz6_uyBNkf4MTCEW2gcoODa5aSHjohcCH6TMEboQUZhvzeo1w2_kFomQLI5xgY6wpKxMvrGOazdo01fr-p7rnek18A39NFyYQii-apk7e68c6JVEfMoyeyRUUsc0C6bMP6rBK09g/s1600/yusuf.jpg
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
·  Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
·  Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
·  Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
·  Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
·  Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
– menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
– Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
– Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
– Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga




No comments:

Post a Comment