A. Demokrasi dalam Islam
Di dalam Qur’an, Q.S.Ali imran ayat
159 merupakan salah satu ayat yang berisi pesan-pesan mulia tentang bersikap
demokratis, musyawarah dan toleransi dalam perbedaan.
1.
QS. Ali ‘Imran Ayat 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ
الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَا وِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ المُتَوَكِّلِيْنَ.
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[1].
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”
2.
Penerapan Tajwid
Kalimat
|
Hukum Bacaan
|
Alasan
|
فَبِمَا
|
Mad Tabi’i
|
Fathah diikuti alif
|
رَحْمَةٍ مِنَ
|
Idgam Bigunnah
|
Tanwin diikuti huruf
mim
|
لِنْتَ
|
Ikhfa
|
Nun sukun diikuti
huruf Ta’
|
فَظًّا غَلِيْظَ
|
Izhar
|
Tanwin diikuti huruf
Ghain
|
لَا نْفَضُوْا
|
Ikhfa
|
Nun sukun diikuti
huruf Fa’
|
مِنْ حَوْلِكَ
|
Izhar
|
Nun sukun diikuti
huruf Ha
|
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
|
Izhar syafawi
|
Mim sukun diikuti
huruf wawu
|
فِي الْأَمْرِ
|
Izhar Qamariyah
|
Alif lam sukun
diikuti huruf hamzah
|
عَلَى اللهِ
|
Lam tafkhim
|
Lafaz jalalah datang
setelah fathah
|
المُتَوَكِّلِيْنَ.
|
Mad Arid lissukun
|
Mad thabi’i diikuti
huruf hidup lalu dibaca waqaf
|
3.
Kosa kata baru
Kata
|
Arti
|
Kata
|
Arti
|
فَبِمَا رَحْمَةٍ
|
Karena kasih
sayang/rahmat
|
وَاسْتَغْفِرْ
|
Dan mintakanlah
ampunan
|
مِنَ اللهِ
|
Dari Allah
|
لَهُمْ
|
Untuk mereka
|
لِنْتَ
|
Kamu bersikap lemah
lembut
|
وَشَا وِرْهُمْ
|
Dan bermusyawarahlah
dengan mereka
|
لَهُمْ
|
Kepada mereka
|
فِي الْأَمْرِ
|
Dalam segala urusan
|
فَظًّا
|
Kasar (dalam
perkataan)
|
فَإِذَا
|
Maka apabila
|
غَلِيْظَ الْقَلْبِ
|
Keras hati
|
عَزَمْتَ
|
Kamu bertekad bulat
|
لَا نْفَضُوْا
|
Niscaya mereka
bubar/menjauh
|
فَتَوَكَّلْ
|
Bertawakallah
|
مِنْ حَوْلِكَ
|
Dari hadapanmu /
sekelilingmu
|
يُحِبُّ
|
Mencintai
|
فَاعْف عَنْهُمْ ُ
|
Maka maafkanlah
mereka
|
المُتَوَكِّلِيْنَ
|
Orang-orang yang bertawakal
|
4.
Munasabah / Asbabun Nuzul
Sebab – sebab turunya ayat ini kepada
Nabi Muhammad saw adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu
Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang Badar, Rasulullah
mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra untuk
meminta pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat,
meraka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar
tebusan. Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah
membunuh adalah keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian
turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar (HR. Kalabi).[2]
5.
Tafsir QS. Ali ‘Imran ayat 159
Menurut Ibnu Kaisan, Maa adalah Maa Nakirah yang
berada pada posisi majrur dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah
badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap lemah-lembut
dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap
mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab
taufik-Nya kepada beliau.[3]
Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali
Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap
Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya
yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian
kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu,
namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar
mereka dipimpin.[4] Dalam
ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang
lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah
rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah
ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap
beliau dalam memimpin
Meskipun dalam keadaan genting, seperti
terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin
dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita, tetapi
Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu,
bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka. Andaikata
Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan
diri dari beliau.
Disamping itu Nabi Muhammad selalu
bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan.
Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan – putusan musyawarah
itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi.
Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa
menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal
sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin
selain Allah.[5]
M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya
al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk
menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nbi kepada
kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan
dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud
yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukuo banyak
pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah
dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima usukan mayoritas
mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam mempersalahkan
para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan
halus, dan lain lain.
Jika demikian, maka disebabkan
rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif
(nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain sebagaiman dipahami
dari huruf (ما) maa yang digunakan disini
dalam kontek penetapan rahmat-Nya – disebabkan karena rahmat Allah itu – engkau
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras,
buruk perangai, kasar kata lagi
berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,disebabkan oleh antipati
terhadapmu. Karena perangimu tidak seperti itu maka maafkanlahkesalahan
– kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan kepada
Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah dengan merekadalam urusan itu,
yakni dalam urusan peperangan daln urusan dunia, bukan urusan syari’at atau
agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan
hal-hal di atas dan telah membulatkantekad, melaksanakan hasil
musyawarah kamu, maka laksanakanlah sambil bertawakal kepadaAllah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan
membimbing mereka kearah apa yang mereka harapkan.
Firman-Nya: maka disebabkan
rahmat yang amat besar dari Allah, engkau berlaku lemah lembut
terhadap mereka dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah sendiri
yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda
Beliau : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil
pendidikan-Nya”. Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya
pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur’an,
tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan
rahmat bagi seluruh alam.
Adapun kandungan dari QS. Ali ‘Imran aayt 159 adalah
sebagai berikut:
Pertama: Para ulama
berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini
secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk
memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat
maaf, Allah SWT memerintahkan beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan mereka
terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas untuk
diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.
Kedua: Ibnu ‘Athiyah
berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan
hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib
diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal
ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah
dengan firman Nya“sedang urusan mereka (diputuskan dengan musyawarat antara
mereka”
Ketiga: Firman Allah
SWT: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.Menunjukkan
kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang
didasari dengan wahyu. Sebab, Allah SWT mengizinkan hal ini kepada
Rasul-Nya. Para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Allah SWT kepada
Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau.
Sekelompok ulama
berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan ketika
berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat
mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah SWT
telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”.[6]
Kelompok lain
berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada wahyu
tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka
berkata, “Allah SWt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah
karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin
memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada mereka dan agar
umat beliau dapat menauladaninya.[7]
Keempat: Tertera dalam
tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah SAW bersabda,
yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat
dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak
musyawarah dalam masalah hokum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran
agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal”.
Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum
sempurna”.[8]
Maka apabila
orang yang memenuhi criteria di atas diajak untuk bermusyawarah dan dia
bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya
keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al
Khaththabi dan lainnya.
Kelima:keriteriaorang yang diajak
bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat adalah
memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.
Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki
pengalaman, sebab dia akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan
pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara
gratis”.
Keenam: Dalam
musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus
memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan
kitabullah dan sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah SWT telah
menunjukkan kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang
bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal
kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah
SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.
Ketujuh: Firman Allah
SWT “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka
bertawakallah kepada Allah”. Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan
kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya
sambil bertawakal kepada Allah SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.
Kedelapan: Firman
Allah SWT“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”. Tawakal artinya
berpegang teguh kepada Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama
berbeda pendapat tentang Tawakal. Suatu kelompok sufi berkata,
“Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh
takut kepada Allah, baik takut kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia
meninggalkan usaha mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.”[9]
6. Ayat dan Hadis terkait
a. Nabi Muhammad saw bersabda : “Aku didik
oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”(HR. Asyhari)
b. Dari abi burdah ia berkata: Nabi Muhammad
mengutus kakekku abu musa dan mu’adz ke Yaman lalu bersabda: permudahlah dan
jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menjauhkan( membuat orang lari)
dan berlemah lembutlah.” (HR. Bukhari muslim).[10]
c. Al-Qur’an Surat Al-Fath ayat 29:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud[11].
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.
B. DEMOKRASI
DAN SYURA
1. DEMOKRASI
Secara
kebahasaan demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata. “Kata “demokrasi” yang dalam bahasa Inggris “democracy” berasal dari kata Yunani
yaitu “demos” = rakyat, dan “kratos” = pemerintahan. Secara
istilah demokrasi ini dapat di tinjau dari dua segi makna.
Pertama demokrasi dipahami sebagai suatu konsep yang
berkembang dalam kehidupan politik pemerintah, yang didalamnya terdapat
penolakan terhadap adanya kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang dan
mengkehendaki peletakan kekuasaan di tangan orang banyak baik secara langsung
maupun dalam perwakilan.
Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang
menghargai hak-hak dan kemampuan individu dalam kehidupan masyarakat.
2.
SYURA
Menurut bahasa, dalam kamus Mu’jam maqayis al –
lugah, syura memiliki dua pengertian yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu
atau mengambil sesuatu. Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama telah memberikan
definisi seperti berikut.
a. Ar
Raghib al asfahani dalam kitabnya Al mufradat fi ghabrib al quran
mendefinisikan syura sebagai “proses mengemukakan pendapat dengan saling
mengoreksi antara peserta syura.”
b. Ibnu
Al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam al-Quran, mendefinisikan dengan “berkumpul untuk
meminta pendapat yang peserta syuranya saling mengeluarkan pendapat yang
dimiliki”
c. Asy
syura fi zilli Nizami al-hukm al-islami “ proses menelusuri pendapat para ahli
dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”
3. Ciri Sistem Demokrasi
dalam Pandangan Islam
a. Berada di bawah
payung agama
Islam
b. Rakyat diberi
kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya yang tentunya sesuai dengan nilai-nilai Islam
c. Pengambilan
keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah
d. Suara
mayoritas tidak bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam
musyawarah
e. Musyawarah
hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; manusia hanya boleh membahas mengenai masalah yang bersifat teknis
f. Produk hukum
dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama Islam
g. Hukum dan
kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
4. Prinsip-prinsip
Demokrasi dalam Islam
a.
QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159
b.
Al-‘adalah adalah
keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai
jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana,
tidak boleh kolusi dan nepotis.
c. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
:
Ø an-Nahl ayat 90
Ø
QS.Al-Maidah ayat 8
d.
Al-Musawah
adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang
lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas
rakyat.
Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam
hal ini adalah surat al-Hujurat:13.
e.
Al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan
seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut
harus dijaga dengan baik. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil
seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’
ayat 58.
- Al-Masuliyyah adalah tanggung jawab.
- Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang,
setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan
pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan
memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi
penguasa untuk mencegahnya.
C. PANDANGAN
ULAMA TENTANG DEMOKRASI
1. Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak
demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan
kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah
buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat)
merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham
teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan
di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas
pada para pendeta.
2. Mohammad
Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga
dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan
dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan
sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama.
Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut
Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan
basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep
demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang
ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang
berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai
berikut:
– Tauhid sebagai landasan asasi.
– Kepatuhan pada hukum.
– Toleransi sesama warga.
– Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
– Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
– Tauhid sebagai landasan asasi.
– Kepatuhan pada hukum.
– Toleransi sesama warga.
– Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
– Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
3. Muhammad
Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara
mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan
legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan
rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan
wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia
hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan
Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
4. Yusuf
al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan
Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
·
Dalam
demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka
tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan
Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh
makmum di belakangnya.
·
Usaha setiap
rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan
amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah
bagian dari ajaran Islam.
·
Pemilihan
umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi
kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak,
berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat
dibutuhkan.
·
Penetapan
hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip
Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara
mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya
yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan
tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu
Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam
masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
·
Juga kebebasan
pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan
sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
– menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
– Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
– Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
– Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
– menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
– Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
– Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
– Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
No comments:
Post a Comment