Tuesday 10 July 2018

cerpen


Surat Terakhir
Karya Elma Anggrayni


Hampir 1 tahun, Rani mengisi hari-harinya dengan seperti ini. Hanya berbaring ditempat tidur kesayangannya. Hanya menatap langit-langit kamar sambil terus mengingat hari bahagianya dulu. Kini, obat-obat itu bagaikan permen dimatanya. Tenggorokan itu sudah sangat terbiasa dengan segala bentuk jenis obat yang dimakannya. Tubuh itu sebenarnya sudah sangat lelah hanya berbaring di tempat tidur. Ditemani dengan selang-selang dan segala macam benda yang membuatnya dapat bertahan hingga hari ini. Daging yang dulu mengisi tubuhnya, sudah pergi. Dan meninggalkan tulang yang hanya diselimuti kulit. Mata yang dulu selalu tampak bahagia, kini lingkaran hitam lah yang selalu mengitarinya. Tubuh yang dulu selalu bersemangat kini sudah sangat lemas. Dalam hatinya selalu berkata “Ya Allah, andai aku bisa memilih. Biarkan aku pergi dari dunia yang fana ini. Aku ikhlas ya Allah”. Setiap ia berpikir seperti itu, air mata itu terus menetes dengan derasnya.
Alarm di atas meja itu bagai mencuri dirinya dari alam mimpi. Dengan malas dia bangun dari tempat tidurnya. Dan segera merapikannya. Itu hal yang wajib dia lakukan setiap hari. Dengan malas dia menyeret dirinya ke kamar mandi. Setelah mandi, seperti biasa adzan subuh mulai berkumandang. Dengan cepat ia segera shalat subuh. Karena kalau tidak, ibunya akan mulai menceramahinya. Dalam shalatnya, ia terus berusaha untuk khusyu. Karena bau nasi goreng mulai menyelimuti kamarnya.
Seperti biasa, setiap pagi mereka selalu sarapan bersama. Itu sudah menjadi jadwal yang harus ditaati di rumah itu.
“Ma, tolong ambilkan nasi gorengnya Rama bu.” Kata Rama dengan wajah memelasnya yang membuat orang lain akan luluh seketika.
“Ambil sendiri kenapa sih? Manja banget.” Kata Rani, ia sangat tidak menyukai kebiasaan adiknya itu. Karena dia beranggapan, kalau terus-terusan seperti itu adiknya akan sangat bergantung pada orang lain.
“Bilang aja kakak iri, kan?”
“Kakak itu cuman gak suka sama sikap kamu aja Rama.”
“Sudahlah Ran, adikmu kan masih kecil.” Kata papanya menenangkan keributan yang terjadi pagi itu.
“Iya pa.” Rani terpaksa melakukan itu. Karena dimata papanya, seorang kakak harus belajar menjadi bijaksana. Mereka pun melanjutkan sarapan. Keluarga itu sangat harmonis. Mama yang penyayang, papa yang bijaksana dan anak-anak yang patuh pada orang tuanya. Walaupun hidup mereka cukup sederhana. Seorang ayah yang punya toko buku dan ibu  yang menjadi seorang guru di sebuah sekolah negeri. Yah, tidak ada yang terlalu spesial di dalam keluarga mereka.
Matahari semakin tinggi menampakkan dirinya. Seperti biasa dengan malas dia masuk ke kelasnya. Namun berubah bahagia ketika melihat teman-temannya. Yah hampir 1 tahun bersama, membuat kedekatan mereka bagaikan keluarga antara satu sama lain.
“Hai Ran, PR kimia lo udah siap belum?” Tanya Rian dengan tampang memohon pada Rani untuk meminjamkan bukunya.
“Enak aja, kerjain sendiri dong.” Kata Rani sampai menjulurkan lidahnya
“Ran, gue traktir kebab nanti.” Kata Rian, berusaha meyakinkan Rani
“Iya deh, cepat ya” Kata Rani sambil memberikan bukunya pada Rian.
Rani memang anak yang cukup pintar di kelasnya. Hampir setiap semester dia masuk juara 3 besar di kelasnya. Selain itu dia juga anak yang ramah serta mudah bergaul. Dia juga mengikuti ekskul musik di sekolah, khususnya piano. Setelah pulang sekolah nanti, dia dan anak-anak ekskul musik akan berkumpul di ruang musik.
“Teman-teman bulan depan kita akan mengadakan pentas seni, jadi setiap anak musik harus menampilkan kemampuannya. Baik itu Kelompok atau pun perorangan. Selain itu hari ini kita kedatangan anggota baru. Dia juga anak baru di sekolah ini. Ngomong-ngomong tolong dong perkenalkan diri kamu.” Kata Sheril. Ia adalah ketua ekskul musik.
“Nama saya Dio, saya dari kelas XI IPA 6. Senang bertemu kalian.” Kata Dio sambil menyunggingkan senyum manisnya yang membuat seluruh perempuan disana cukup terpesona. Anak-anak perempuan sibuk membicarakan tentang Dio, kecuali Rani.
Ia memang seperti itu, bukannya tidak menyukai cowok. Apalagi seganteng Dio. Tetapi, mungkin perasaannya sudah digembok dan ntah kapan akan terbuka kembali. Bukannya bergosip dengan teman-temannya dia mulai memainkan pianonya sekedar latihan untuk pentas seni bulan depan.
“Hai.” Kata Dio dengan senyumnya tadi
“Hai.” Kata Rani, dengan biasa-biasa saja
“Nama gue Dio.” Sambil menuyulurkan tangannya pada Rani
“Rani.” Jawab Rani singkat
“Mau mainin lagu apa?” Tanya Dio pada Rani.
“Lagu “Let Her Go”. ” Jawab Rani.
“Ciee, lagi patah hati ya”
“Nggak juga.”
“Boleh ikut main nggak?” Tanya dio lagi.
“Kenapa nggak?”
Dengan cepat Dio duduk dibangku di samping Rani. Mereka pun mulai memainkan lagu itu bersama-sama. Mereka berdua kelihatan sekali sudah sangat handal bermain piano. Ntah bagaimana, ada sesuatu yang Rani rasakan. Perasaan yang selama ini, mungkin sudah lenyap. Dalam hatinya ia berkata “Ran, tolong dong. Lo gak boleh ngerasa sakit lagi. Jangan ngebiarin itu terjadi Ran.”.  Dalam renungannya, ia baru tersadar bahwa lagu yang mereka mainkan baru saja selesai. Dan suara tepuk tangan dari anak-anak lain, menyadarkan nya.
“Cieeee,,,,,”
“Kalian kompak banget”
“Baru aja sehari kenalan, udah deket banget kayaknya”
Dengan cepat ia, keluar dari ruang music. Ia tak ingin melihat cowok itu lagi. Ia tak ingin merasakan perasaan itu lagi. Hati dan perasaannya bagaikan sedang mengalami perdebatan yang cukup besar. Rani berlari ke sebuah taman di belakang sekolah. Satu-satunya tempat disekolah itu yang bisa membuat hatinya merasakan sebuah kenyamanan.
Bel pulang pun berbunyi, satu-satunya hal yang selalu ditunggu murid-murid. Sesampainya di rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Dan setelah beberapa menit, baru dia masuk ke kamarnya. Hari sudah cukup sore, ketika dia tersadar dari tidurnya.
“Ran, keluar dong. Ada tamu nih, tolong buatin minum dong sayang.” Kata mamanya dari ruang tamu
“Iya ma, sebentar.” Kata rani sambil berjalan menuju dapur untuk membuat minuman.
Betapa terkejutnya dia, ketika melihat dio sedang bertamu di rumahnya. Untung saja tangannya tidak secara refleks melemparkan minuman itu.
“Hai Rani.” Sapa dio, lagi-lagi dengan senyum yang maut itu.
“Kok lo bisa tau rumah gue? Ngapain lo kesini?” Tanya Rani dengan bingung.
“Yaelah Ran, kita kan tetanggaan.”
“Hah? Tetangga apanya?
“Jadi gini loh Ran, si dio ini keponakan Om Fadli dan Tante Nia.” Kata mama rani menjelaskan.
“oooohh, gitu.”
“Ngomong-ngomong diminum dong minumannya.” Kata mama rani lagi
“Iya tante, makasih”
Setelah meminum minumannya Dio pun segera pulang.
“Udah sore ni tante, Dio pulang ya?”
“Iya Dio, silakan”
“Ran, besok pagi ke sekolahnya sama gue aja ya?”
“Hah? Nggak usah. Gue bisa pergi sendiri kok” kata Rani lagi.
“udah deh Ran, kamu sama dio aja. Besokkan jadwal mama mau service mobil kamu.” Kata mama menjelaskan
“Iya ran, gue gak merasa direpotkan kok. Lagian kan kita tetanggaan.”
“iya deh iya.” Jawab Rani dengan malas
Kini hampir tiap hari Rani dan Dio pergi-pulang sekolah bersama-sama. Walau perlahan namun pasti mereka pun, semakin dekat. Setiap pulang sekolah mereka juga sering latihan piano berdua, untuk ditampilkan pada acara pentas seni sabtu besok. Acara pentas seni itu pun tiba, hal yang sangat ditunggu oleh semua murid di sekolah itu. Akhirnya tiba lah giliran Dio dan Rani. Rani dengan gaun berwarna hijau toska, serta high heel yang tidak cukup tinggi, kelihatan sangat cantik. Begitu juga dengan dio yang menggunakan jas dan kemeja berwarna putih. Mereka berdua kelihatan sangat serasi.
Lantunan lagu “Fix You” mulai mengiringi permainan piano mereka. Semua penonton kelihatan sangat menikmati lagu itu. Dan diakhir permainan, Dio mengambil microfone dan mengatakan sesuatu. Sementara itu Rani, hanya duduk diam merasa bingung dengan apa yang dilakukan Dio.
“Sebenarnya lagu yang kami mainkan tadi, adalah lagu yang saya tujukan untuk seseorang. Seseorang yang mengerti dan melihat saya bukan hanya melihat fisik. Seseorang yang selalu menemani saya dengan sangat tulus. Dan malam ini, saya ingin bertanya padanya do you want to be my girl friend, Rani?” Kata Dio menjelaskan.
“Kamu gak salah ngomong yo?” Tanya Rani kebingungan
“Nggak ran, jawab dong”
Semua penonton sibuk menyuruh Rani mengatakan Ya pada dio.
“Okay, mungkin aku bakalan buka hati aku lagi. Dan ya, aku mau yo.”
“makasih Ran.”
Hari itu Rani merasakan hal itu lagi. Perasaan bahagia, yang selama ini sangat ia hindari. Setelah acara pentas seni itu selesai Dio mengantar Rani pulang ke rumah. Dan kemuadian pamit pada Rani. Ketika membuka pintu rumah betapa terkejutnya Rani melihat papa dan mamanya sedang bertengkar. Satu-satunya hal yang tidak pernah ia lihat selama ini di rumah itu.
“Kamu itu ya diam aja! Ini masalah aku. Yang punya toko itu aku bukannya kamu!” Bentak papa nya kepada mama Rani.
“Paling tidak kamu itu kasi tau aku pa. Aku gak mau tau, pokoknya aku pengen kita cerai aja. Aku gak bisa lagi tinggal sama kamu. Aku juga bakalan bawa anak-anak. Besok pagi, aku bakalan ngurus surat pindah sekolah mereka.” Kata mama Rani sambil terus-terusan menangis.
Bagai dihantam besi dikepalanya, dia merasakan sakit yang luar biasa. Tanpa ingin membuat orang tuanya melihat dirinya, ia masuk ke kamar sambil menangis tanpa henti. Tapi kali ini, sakit di hati dan dikepalanya terasa sangat menyakitkan. Apa lagi kata-kata mamanya, masih terus terngiang di kepala gadis yang baru saja merasakan kebahagiannya lagi.
Dengan berat hati hari ini Rani pergi ke sekolah.
“Ran, kamu kenapa? Kok lemes gitu? Kamu sakit Ran?” Tanya Dio dengan wajah cemasnya
“Aku gak kenapa-kenapa. Cuman kecapekan aja.”
“Oh iya deh, Ran.”
“iya, Dio pulang sekolah nanti kamu mau nggak ngajakin aku pergi jalan-jalan?” Minta Rani pada Dio
“Apa sih yang nggak buat kamu Ran.” Kata Dio.
Sepulang sekolah, mereka pun pergi jalan-jalan. Makan berdua di sebuah café, main game di timezone, serta nonton film di bioskop. Sebenarnya hari ini adalah hari terakhir Rani bersama dio. Karena mulai besok ia, Rama dan mamanya akan pindah ke Bandung.
Pagi-pagi sekali Rani, Rama dan mamanya sudah pergi ke bandung. Rani juga tidak mengatakan apa-apa kepada dio tentang kepergiannya ini. Dio hanya tau kalau Rani sudah pindah sekolah. Perasaan kesal, hancur, dan merasa dibohongi mulai berkecamuk di hati Dio saat ini. Ia tak pernah berpikir bahwa Rani akan melakukan ini padanya. Padahal baru beberapa hari yang lalu, ia menyatakan perasaannya pada gadis itu. Disisi lain, Rani yang sekarang bersekolah di Bandung terus-terusan merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada Dio. Namun ia berusaha kelihatan tegar. Dan mulai membuka lembaran baru di sekolahnya ini.
Hampir 1 tahun Dio mencari Rani. Dan hari ini ia sungguh bahagia karena akhirnya ia tahu dimana Rani tinggal. Perasaannya pada Rani masih seperti yang dulu. Tak kan ada yang mengisi hatinya selain Rani. Besok pagi ia sudah berencana untuk pergi ke rumah Rani berbekal alamat yang ia dapatkan.
Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan pun berganti. Saat mengetahui dirinya mempunyai penyakit kanker selaput otak, Rani merasakan sakit yang luar biasa. Apakah masih kurang penderitaan yang dia alami? Keluarga yang berantakan, harus kehilangan cowok yang disayanginya, kini ia harus mengalami sakit ini lagi. Biaya perawatan yang cukup mahal membuat Rani meminta mamanya untuk dirawat di rumah saja. Kini ia hanya menunggu waktu kapan ia akan dipanggil. Namun tetap berharap, setelah kepergiannya ia akan meninggalkan senyum manis pada wajah mamanya itu.
Hari ini Rani meminta mamanya untuk menelpon papa, dan menyuruhnya untuk datang ke Bandung. Dan tepat jam 7 malam, papa Rani sudah tiba di Bandung. Rani sungguh rindu tatapan bijaksana itu.
“Pa ma, kalau Rani pergi nanti. Papa sama mama harus janji sama Rani, walaupun kalian berdua mungkin gak bakalan bisa sama-sama lagi, kalian harus tetap jaga silaturahmi.” Kata Rani pada mama dan papanya.
“Rama, kamu juga gak boleh terlalu tergantung sama orang lain. Kamu harus belajar mandiri.” Kata Rani lagi pada Rama, adiknya.
“Ma, diatas meja itu ada surat. Dulu rani pengen banget ngasi itu sama Dio. Kalau nanti mama ketemu Dio, tolong kasiin surat ini ke dia ya ma? Pokoknya kalau aku pergi nanti kalian semua harus tegar.” Kata Rani sambil tersenyum pada keluarganya
“iya sayang, kita semua bakalan ngikutin semua permintaan kamu.” Kata mama pada Rani.
Setelah mendengar permintaannya akan dituruti, ia pun mengucapkan asma allah. Dan mulai menutup matanya sambil tersenyum dengan tenang.
Sesampainya Dio di rumah Rani, ia sangat terkejut melihat bendera putih tergantung disana. Firasatnya mulai tidak enak. Suara bacaan yasiin pun samar-samar terdengar dari rumah itu. Dan betapa terkejutnya Dio melihat tubuh perempuan yang sangat ia sayangi telah terbaring kaku dengan senyum tersayangnya.
“Kamu Dio kan?” Tanya mama Rani pada Dio
“Iya tante.” Jawab dio kelihatan bingung.
“Ini, Rani meminta tante. Buat ngasiin ini ke kamu.” Kata mama Rani, sambil menyerah amplop biru.
“iya tante, makasih. Tante yang sabar ya? Mungkin ini jalan terbaik yang dikasi allah buat kita semua.” Kata Dio memberi semangat pada mama Rani.
“Iya, kamu juga yang tegar ya.” Kata mama Rani lagi.
Dio hanya memberi senyum pada mama Rani, dan pergi meninggalkan rumah itu. Lalu,  pergi ke sebuah danau yang ada di belakang rumah rani. Ia tersenyum melihat danau itu. Ia seakan-akan bisa membayangkan Rani sedang duduk ditepi danau, seperti yang sering ia lakukan di belakang sekolah dulu. Dan kemudian, ia teringat dengan surat yang diberi mama Rani padanya. Perlahan namun pasti, ia membuka surat itu. Dan air mata itu pun mulai terjun bebas dari matanya.
Hai Dio..
Apa kabar? Waktu kamu baca surat ini pasti kamu udah tau kalau aku udah nggak ada lagi di dunia yang fana ini. Ngomong-ngomong aku minta maaf sama kamu yo atas semua kesalahanku. Pertama, aku minta maaf karena aku pindah ke Bandung tanpa memberitahumu. Saat itu aku sedang merasa frustasi yo. Ayah dan ibuku baru saja bercerai saat itu. Dan di Bandung aku ingin membuka lembaran baru. Namun takdir berkata lain, aku terkena kanker selaput otak yo. Hampir 1 tahun aku menahan sakit ini. Ntah kenapa hari itu aku ingin sekali menulis surat ini untukmu. Padahal mungkin jika dipikir-pikir kamu gak mungkin mencariku lagi. Sekali lagi aku minta maaf Dio.
Aku lega sudah memberitahu ini semua, sekarang terserah kamu, mau kamu buang surat ini atau kamu bakar. Perasaan aku udah lega. Aku menangis saat menulis surat ini. Untuk kesekian kalinya aku cengeng ya? Tapi kamu gak boleh cengeng kayak aku yo. Aku bakalan selalu sayang kamu. Makasih buat semuanya yo.
Salam Rindu,
Rani
Selesai membaca surat itu, Dio merasakan penyesalan yang luar biasa. Mengapa dari dulu dia tidak tahu hal ini? Mengapa dia tidak tahu tentang ini lebih awal? Seandainya lebih awal, ia bisa melihat Rani walau Cuma sebentar. Mengisi hari-hari terakhirnya dengan penuh kenangan bahagia. Tapi semua sudah berlalu, penyesalan hanya tinggal penyesalan. Dio harus belajar merelakan Rani. Rani pasti sedih jika melihat dirinya seperti ini.
























Tema : Ketegaran seorang remaja dalam menjalani kehidupan
NO
Nama Tokoh
Tokoh utama
Tokoh Sampingan
1
Rani
ü   
-
2
Dio
-
ü   
3
Mama
-
ü   
4
Papa
-
ü   
5
Rama
-
ü   
6
Rian
-
ü   
7
Sheril
-
ü   

No
Struktur
Kalimat Teks
1
Abstraksi
Hampir 1 tahun, Rani mengisi hari-harinya dengan seperti ini. Hanya berbaring ditempat tidur kesayangannya. Hanya menatap langit-langit kamar sambil terus mengingat hari bahagianya dulu. Kini, obat-obat itu bagaikan permen dimatanya. Tenggorokan itu sudah sangat terbiasa dengan segala bentuk jenis obat yang dimakannya. Tubuh itu sebenarnya sudah sangat lelah hanya berbaring di tempat tidur. Ditemani dengan selang-selang dan segala macam benda yang membuatnya dapat bertahan hingga hari ini. Daging yang dulu mengisi tubuhnya, sudah pergi. Dan meninggalkan tulang yang hanya diselimuti kulit. Mata yang dulu selalu tampak bahagia, kini lingkaran hitam lah yang selalu mengitarinya. Tubuh yang dulu selalu bersemangat kini sudah sangat lemas. Dalam hatinya selalu berkata “Ya Allah, andai aku bisa memilih. Biarkan aku pergi dari dunia yang fana ini. Aku ikhlas ya Allah”. Setiap ia berpikir seperti itu, air mata itu terus menetes dengan derasnya.
2
Orientasi
Alarm di atas meja itu bagai mencuri dirinya dari alam mimpi. Dengan malas dia bangun dari tempat tidurnya. Dan segera merapikannya. Itu hal yang wajib dia lakukan setiap hari. Dengan malas dia menyeret dirinya ke kamar mandi. Setelah mandi, seperti biasa adzan subuh mulai berkumandang. Dengan cepat ia segera shalat subuh. Karena kalau tidak, ibunya akan mulai menceramahinya. Dalam shalatnya, ia terus berusaha untuk khusyu. Karena bau nasi goreng mulai menyelimuti kamarnya.
Seperti biasa, setiap pagi mereka selalu sarapan bersama. Itu sudah menjadi jadwal yang harus ditaati di rumah itu.
“Ma, tolong ambilkan nasi gorengnya Rama bu.” Kata Rama dengan wajah memelasnya yang membuat orang lain akan luluh seketika.
“Ambil sendiri kenapa sih? Manja banget.” Kata Rani, ia sangat tidak menyukai kebiasaan adiknya itu. Karena dia beranggapan, kalau terus-terusan seperti itu adiknya akan sangat bergantung pada orang lain.
“Bilang aja kakak iri, kan?”
“Kakak itu cuman gak suka sama sikap kamu aja Rama.”
“Sudahlah Ran, adikmu kan masih kecil.” Kata papanya menenangkan keributan yang terjadi pagi itu.
“Iya pa.” Rani terpaksa melakukan itu. Karena dimata papanya, seorang kakak harus belajar menjadi bijaksana. Mereka pun melanjutkan sarapan. Keluarga itu sangat harmonis. Mama yang penyayang, papa yang bijaksana dan anak-anak yang patuh pada orang tuanya. Walaupun hidup mereka cukup sederhana. Seorang ayah yang punya toko buku dan ibu  yang menjadi seorang guru di sebuah sekolah negeri. Yah, tidak ada yang terlalu spesial di dalam keluarga mereka.
Matahari semakin tinggi menampakkan dirinya. Seperti biasa dengan malas dia masuk ke kelasnya. Namun berubah bahagia ketika melihat teman-temannya. Yah hampir 1 tahun bersama, membuat kedekatan mereka bagaikan keluarga antara satu sama lain.
“Hai Ran, PR kimia lo udah siap belum?” Tanya Rian dengan tampang memohon pada Rani untuk meminjamkan bukunya.
“Enak aja, kerjain sendiri dong.” Kata Rani sampai menjulurkan lidahnya
“Ran, gue traktir kebab nanti.” Kata Rian, berusaha meyakinkan Rani
“Iya deh, cepat ya” Kata Rani sambil memberikan bukunya pada Rian.
Rani memang anak yang cukup pintar di kelasnya. Hampir setiap semester dia masuk juara 3 besar di kelasnya. Selain itu dia juga anak yang ramah serta mudah bergaul. Dia juga mengikuti ekskul musik di sekolah, khususnya piano. Setelah pulang sekolah nanti dia anak-anak ekskul musik akan berkumpul di ruang musik.
“Teman-teman bulan depan kita akan mengadakan pentas seni, jadi setiap anak musik harus menampilkan kemampuannya. Baik itu Kelompok atau pun perorangan. Selain itu hari ini kita kedatangan anggota baru. Dia juga anak baru di sekolah ini. Ngomong-ngomong tolong dong perkenalkan diri kamu.” Kata Sheril. Ia adalah ketua ekskul musik.
“Nama saya Dio, saya dari kelas XI IPA 6. Senang bertemu kalian.” Kata Dio sambil menyunggingkan senyum manisnya yang membuat seluruh perempuan disana cukup terpesona. Anak-anak perempuan sibuk membicarakan tentang Dio, kecuali Rani.
Ia memang seperti itu, bukannya tidak menyukai cowok. Apalagi seganteng Dio. Tetapi, mungkin perasaannya sudah digembok dan ntah kapan akan terbuka kembali. Bukannya bergosip dengan teman-temannya dia mulai memainkan pianonya sekedar latihan untuk pentas seni bulan depan.
“Hai.” Kata Dio dengan senyumnya tadi
“Hai.” Kata Rani, dengan biasa-biasa saja
“Nama gue Dio.” Sambil menuyulurkan tangannya pada Rani
“Rani.” Jawab Rani singkat
“Mau mainin lagu apa?” Tanya Dio pada Rani.
“Lagu “Let Her Go”. ” Jawab Rani.
“Ciee, lagi patah hati ya”
“Nggak juga.”
“Boleh ikut main nggak?” Tanya dio lagi.
“Kenapa nggak?”
Dengan cepat Dio duduk dibangku di samping Rani. Mereka pun mulai memainkan lagu itu bersama-sama. Mereka berdua kelihatan sekali sudah sangat handal bermain piano. Ntah bagaimana, ada sesuatu yang Rani rasakan. Perasaan yang selama ini, mungkin sudah lenyap. Dalam hatinya ia berkata “Ran, tolong dong. Lo gak boleh ngerasa sakit lagi. Jangan ngebiarin itu terjadi Ran.”.  Dalam renungannya, ia baru tersadar bahwa lagu yang mereka mainkan baru saja selesai. Dan suara tepuk tangan dari anak-anak lain, menyadarkan nya.
“Cieeee,,,,,”
“Kalian kompak banget”
“Baru aja sehari kenalan, udah deket banget kayaknya”
3
Konflik
Dengan cepat ia, keluar dari ruang music. Ia tak ingin melihat cowok itu lagi. Ia tak ingin merasakan perasaan itu lagi. Hati dan perasaannya bagaikan sedang mengalami perdebatan yang cukup besar. Rani berlari ke sebuah taman di belakang sekolah. Satu-satunya tempat disekolah itu yang bisa membuat hatinya merasakan sebuah kenyamanan.
Bel pulang pun berbunyi, satu-satunya hal yang selalu ditunggu murid-murid. Sesampainya di rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Dan setelah beberapa menit, baru dia masuk ke kamarnya. Hari sudah cukup sore, ketika dia tersadar dari tidurnya.
“Ran, keluar dong. Ada tamu nih, tolong buatin minum dong saying.” Kata mamanya dari ruang tamu
“Iya ma, sebentar.” Kata rani sambil berjalan menuju dapur untuk membuat minuman.
Betapa terkejutnya dia, ketika melihat dio sedang bertamu di rumahnya. Untung saja tangannya tidak secara refleks melemparkan minuman itu.
“Hai Rani.” Sapa dio, lagi-lagi dengan senyum yang maut itu.
“Kok lo bisa tau rumah gue? Ngapain lo kesini?” Tanya Rani dengan bingung.
“Yaelah Ran, kita kan tetanggaan.”
“Hah? Tetangga apanya?
“Jadi gini loh Ran, si dio ini keponakan Om Fadli dan Tante Nia.” Kata mama rani menjelaskan.
“oooohh, gitu.”
“Ngomong-ngomong diminum dong minumannya.” Kata mama rani lagi
“Iya tante, makasih”
Setelah meminum minumannya Dio pun segera pulang.
“Udah sore ni tante, Dio pulang ya?”
“Iya Dio, silakan”
“Ran, besok pagi ke sekolahnya sama gue aja ya?”
“Hah? Nggak usah. Gue bisa pergi sendiri kok” kata Rani lagi.
“udah deh Ran, kamu sama dio aja. Besokkan jadwal mama mau service mobil kamu.” Kata mama menjelaskan
“Iya ran, gue gak merasa direpotkan kok. Lagian kan kita tetanggaan.”
“iya deh iya.” Jawab Rani dengan malas
Kini hampir tiap hari Rani dan Dio pergi-pulang sekolah bersama-sama. Walau perlahan namun pasti mereka pun, semakin dekat. Setiap pulang sekolah mereka juga sering latihan piano berdua, untuk ditampilkan pada acara pentas seni sabtu besok. Acara pentas seni itu pun tiba, hal yang sangat ditunggu oleh semua murid di sekolah itu. Akhirnya tiba lah giliran Dio dan Rani. Rani dengan gaun berwarna hijau toska, serta high heel yang tidak cukup tinggi, kelihatan sangat cantik. Begitu juga dengan dio yang menggunakan jas dan kemeja berwarna putih. Mereka berdua kelihatan sangat serasi.
Lantunan lagu “Fix You” mulai mengiringi permainan piano mereka. Semua penonton kelihatan sangat menikmati lagu itu. Dan diakhir permainan, Dio mengambil microfone dan mengatakan sesuatu. Sementara itu Rani, hanya duduk diam merasa bingung dengan apa yang dilakukan Dio.
“Sebenarnya lagu yang kami mainkan tadi, adalah lagu yang saya tujukan untuk seseorang. Seseorang yang mengerti dan melihat saya bukan hanya melihat fisik. Seseorang yang selalu menemani saya dengan sangat tulus. Dan malam ini, saya ingin bertanya padanya do you want to be my girl friend, Rani?” Kata Dio menjelaskan.
“Kamu gak salah ngomong yo?” Tanya Rani kebingungan
“Nggak ran, jawab dong”
Semua penonton sibuk menyuruh Rani mengatakan Ya pada dio.
“Okay, mungkin aku bakalan buka hati aku lagi. Dan ya, aku mau yo.”
“makasih Ran.”
Hari itu Rani merasakan hal itu lagi. Perasaan bahagia, yang selama ini sangat ia hindari. Setelah acara pentas seni itu selesai Dio mengantar Rani pulang ke rumah. Dan kemuadian pamit pada Rani. Ketika membuka pintu rumah betapa terkejutnya Rani melihat papa dan mamanya sedang bertengkar. Satu-satunya hal yang tidak pernah ia lihat selama ini di rumah itu.
“Kamu itu ya diam aja! Ini masalah aku. Yang punya toko itu aku bukannya kamu!” Bentak papa nya kepada mama Rani.
“Paling tidak kamu itu kasi tau aku pa. Aku gak mau tau, pokoknya aku pengen kita cerai aja. Aku gak bisa lagi tinggal sama kamu. Aku juga bakalan bawa anak-anak. Besok pagi, aku bakalan ngurus surat pindah sekolah mereka.” Kata mama Rani sambil terus-terusan menangis.
Bagai dihantam besi dikepalanya, dia merasakan sakit yang luar biasa. Tanpa ingin membuat orang tuanya melihat dirinya, ia masuk ke kamar sambil menangis tanpa henti. Tapi kali ini, sakit di hati dan dikepalanya terasa sangat menyakitkan. Apa lagi kata-kata mamanya, masih terus terngiang di kepala gadis yang baru saja merasakan kebahagiannya lagi.
Dengan berat hati hari ini Rani pergi ke sekolah.
“Ran, kamu kenapa? Kok lemes gitu? Kamu sakit Ran?” Tanya Dio dengan wajah cemasnya
“Aku gak kenapa-kenapa. Cuman kecapekan aja.”
“Oh iya deh, Ran.”
“iya, Dio pulang sekolah nanti kamu mau nggak ngajakin aku pergi jalan-jalan?” Minta Rani pada Dio
“Apa sih yang nggak buat kamu Ran.” Kata Dio.
Sepulang sekolah, mereka pun pergi jalan-jalan. Makan berdua di sebuah café, main game di timezone, serta nonton film dibioskop. Sebenarnya hari ini adalah hari terakhir Rani bersama dio. Karena mulai besok ia, Rama dan mamanya akan pindah ke Bandung.
Pagi-pagi sekali Rani, Rama dan mamanya sudah pergi ke bandung. Rani juga tidak mengatakan apa-apa kepada dio tentang kepergiannya ini. Dio hanya tau kalau Rani sudah pindah sekolah. Perasaan kesal, hancur, dan merasa dibohongi mulai berkecamuk di hati Dio saat ini. Ia tak pernah berpikir bahwa Rani akan melakukan ini padanya. Padahal baru beberapa hari yang lalu, ia menyatakan perasaannya pada gadis itu. Disisi lain, Rani yang sekarang bersekolah di Bandung terus-terusan merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada Dio. Namun ia berusaha kelihatan tegar. Dan mulai membuka lembaran baru di sekolahnya ini.
Hampir 1 tahun Dio mencari Rani. Dan hari ini ia sungguh bahagia karena akhirnya ia tahu dimana Rani tinggal. Perasaannya pada Rani masih seperti yang dulu. Tak kan ada yang mengisi hatinya selain Rani. Besok pagi ia sudah berencana untuk pergi ke rumah Rani berbekal alamat yang ia dapatkan.
Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan pun berganti. Saat mengetahui dirinya mempunyai penyakit kankerselaput otak, Rani merasakan sakit yang luar biasa. Apakah masih kurang penderitaan yang dia alami? Keluarga yang berantakan, harus kehilangan cowok yang disayanginya, kini ia harus mengalami sakit ini lagi. Biaya perawatan yang cukup mahal membuat Rani meminta mamanya untuk dirawat di rumah saja. Kini ia hanya menunggu waktu kapan ia akan dipanggil. Namun tetap berharap, setelah kepergiannya ia akan meninggalkan senyum manis pada wajah mamanya itu.
4
Klimaks
Hari ini Rani meminta mamanya untuk menelpon papa, dan menyuruhnya untuk datang ke Bandung. Dan tepat jam 7 malam, papa Rani sudah tiba di Bandung. Rani sungguh rindu tatapan bijaksana itu.
“Pa ma, kalau Rani pergi nanti. Papa sama mama harus janji sama Rani, walaupun kalian berdua mungkin gak bakalan bisa sama-sama lagi, kalian harus tetap jaga silaturahmi.” Kata Rani pada mama dan papanya.
“Rama, kamu juga gak boleh terlalu tergantung sama orang lain. Kamu harus belajar mandiri.” Kata Rani lagi pada Rama, adiknya.
“Ma, diatas meja itu ada surat. Dulu rani pengen banget ngasi itu sama Dio. Kalau nanti mama ketemu Dio, tolong kasiin surat ini ke dia ya ma? Pokoknya kalau aku pergi nanti kalian semua harus tegar.” Kata Rani sambil tersenyum pada keluarganya
“iya sayang, kita semua bakalan ngikutin semua permintaan kamu.” Kata mama pada Rani.
Setelah mendengar permintaannya akan dituruti, ia pun mengucapkan asma allah. Dan mulai menutup matanya sambil tersenyum dengan tenang.
5
Evaluasi
Sesampainya Dio di rumah Rani, ia sangat terkejut melihat bendera putih tergantung disana. Firasatnya mulai tidak enak. Suara bacaan yasiin pun samar-samar terdengar dari rumah itu. Dan betapa terkejutnya Dio melihat tubuh perempuan yang sangat ia sayangi telah terbaring kaku dengan senyum tersayangnya.
“Kamu Dio kan?” Tanya mama Rani pada Dio
“Iya tante.” Jawab dio kelihatan bingung.
“Ini, Rani meminta tante. Buat ngasiin ini ke kamu.” Kata mama Rani, sambil menyerah amplop biru.
“iya tante, makasih. Tante yang sabar ya? Mungkin ini jalan terbaik yang dikasi allah buat kita semua.” Kata Dio memberi semangat pada mama Rani.
“Iya, kamu juga yang tegar ya.” Kata mama Rani lagi.
6
Resolusi
Dio hanya memberi senyum pada mama Rani, dan pergi meninggalkan rumah itu. Dan pergi ke sebuah danau yang ada di belakang rumah rani. Ia tersenyum melihat danau itu. Ia seakan-akan bisa membayangkan Rani sedang duduk ditepi danau, seperti yang sering ia lakukan di belakang sekolah dulu. Dan kemudian, ia teringat dengan surat yang diberi mama Rani padanya. Perlahan namun pasti, ia membuka surat itu. Dan air mata itu pun mulai terjun bebas dari matanya.
7
Koda
Selesai membaca surat itu, Dio merasakan penyesalan yang luar biasa. Mengapa dari dulu dia tidak tahu hal ini? Mengapa dia tidak tahu tentang ini lebih awal? Seandainya lebih awal, ia bisa melihat Rani walau Cuma sebentar. Mengisi hari-hari terakhirnya dengan penuh kenangan bahagia. Tapi semua sudah berlalu, penyesalan hanya tinggal penyesalan. Dio harus belajar merelakan Rani. Rani pasti sedih jika melihat dirinya seperti ini.

Unsur Instrisik
1
Sudut Pandang
Orang ketiga serba tahu
2
Alur
Maju mundur
3
Setting
Tempat : tempat tidur, kelas, sekolah, taman belakang sekolah, rumah sakit, bandung
Waktu : hampir 1 tahun, setiap pagi, jam 7 malam
Suasana : membahagiakan, menegangkan, menyedihkan
4
Tokoh dan watak
1.      Rani : pintar, rajin, ramah, penyayang, setia, mandiri
2.      Dio : setia, penyayang, ramah, sopan, pantang menyerah, tidak mudah putus asa
3.      Rama : manja
4.      Mama Rani : penyayang
5.      Papa Rani : bijaksana
6.      Rian : suka menghalalkan segala cara
7.      Sheril : bijak
5
Gaya Bahasa
1.      Personifikasi:
- Ditemani dengan selang-selang dan segala macam benda yang membuatnya dapat bertahan hingga hari ini.
-Daging yang dulu mengisi tubuhnya, sudah pergi.
-Dan meninggalkan tulang yang hanya diselimuti kulit.
2. simile
Kini, obat-obat itu bagaikan permen dimatanya.
6.
Amanat
-jangan pernah menyerah dalam menghadapi segala cobaan
- jangan menyusahkan orang lain
- jangan menyakiti perasaan orang lain

UNSUR EKSTRISIK
NILAI MORAL
Segala cobaan yang diberikan tuhan kepada kita hanya lah untuk menguji diri kita. Oleh karena itu jangan lah menyerah dengan keadaan yang terjadi
NILAI SOSIAL
Selagi suatu pekerjaan itu masih bisa kita kerjakan. Janganlah menyusahkan orang lain.
NILAI BUDAYA
Orang Indonesia terkenal dengan keramah-tamahannya. Oleh karena itu, kita harus membudayakan sifat ramah
NILAI AGAMA
Jika sedang beribadah sebaiknya kita serius dalam mengerjakannya
NILAI POLITIK
Jangan menyembunyikan segala sesuatu dari orang lain. Karena akhirnya, orang tersebut akan mengetahui juga. Serta jangan lah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu

Kesimpulan : Jangan lah menyerah dengan keadaan yang terjadi

No comments:

Post a Comment