Surat Terakhir
Karya Elma Anggrayni
Hampir
1 tahun, Rani mengisi hari-harinya dengan seperti ini. Hanya berbaring ditempat
tidur kesayangannya. Hanya menatap langit-langit kamar sambil terus mengingat
hari bahagianya dulu. Kini,
obat-obat itu bagaikan permen dimatanya. Tenggorokan itu sudah sangat terbiasa
dengan segala bentuk jenis obat yang dimakannya. Tubuh itu sebenarnya sudah
sangat lelah hanya berbaring di tempat tidur. Ditemani dengan selang-selang dan
segala macam benda yang membuatnya dapat bertahan hingga hari ini. Daging yang
dulu mengisi tubuhnya, sudah pergi. Dan meninggalkan tulang yang hanya
diselimuti kulit. Mata yang dulu selalu tampak bahagia, kini lingkaran hitam
lah yang selalu mengitarinya. Tubuh yang dulu selalu bersemangat kini sudah
sangat lemas. Dalam hatinya selalu berkata “Ya Allah, andai aku bisa memilih.
Biarkan aku pergi dari dunia yang fana ini. Aku ikhlas ya Allah”. Setiap ia
berpikir seperti itu, air mata itu terus menetes dengan derasnya.
Alarm
di atas meja itu bagai mencuri dirinya dari alam mimpi. Dengan malas dia bangun
dari tempat tidurnya. Dan segera merapikannya. Itu hal yang wajib dia lakukan
setiap hari. Dengan malas dia menyeret dirinya ke kamar mandi. Setelah mandi,
seperti biasa adzan subuh mulai berkumandang. Dengan cepat ia segera shalat
subuh. Karena kalau tidak, ibunya akan mulai menceramahinya. Dalam shalatnya,
ia terus berusaha untuk khusyu. Karena bau nasi goreng mulai menyelimuti
kamarnya.
Seperti
biasa, setiap pagi mereka selalu sarapan bersama. Itu sudah menjadi jadwal yang
harus ditaati di rumah itu.
“Ma, tolong ambilkan nasi gorengnya Rama bu.” Kata Rama dengan wajah memelasnya yang membuat orang lain akan luluh seketika.
“Ma, tolong ambilkan nasi gorengnya Rama bu.” Kata Rama dengan wajah memelasnya yang membuat orang lain akan luluh seketika.
“Ambil sendiri kenapa
sih? Manja banget.” Kata Rani, ia sangat tidak menyukai kebiasaan adiknya itu.
Karena dia beranggapan, kalau terus-terusan seperti itu adiknya akan sangat
bergantung pada orang lain.
“Bilang aja kakak iri,
kan?”
“Kakak itu cuman gak suka
sama sikap kamu aja Rama.”
“Sudahlah Ran, adikmu kan
masih kecil.” Kata papanya menenangkan keributan yang terjadi pagi itu.
“Iya pa.” Rani terpaksa
melakukan itu. Karena dimata papanya, seorang kakak harus belajar menjadi
bijaksana. Mereka pun melanjutkan sarapan. Keluarga itu sangat harmonis. Mama
yang penyayang, papa yang bijaksana dan anak-anak yang patuh pada orang tuanya.
Walaupun hidup mereka cukup sederhana. Seorang ayah yang punya toko buku dan
ibu yang menjadi seorang guru di sebuah
sekolah negeri. Yah, tidak ada yang terlalu spesial di dalam keluarga mereka.
Matahari
semakin tinggi menampakkan dirinya. Seperti biasa dengan malas dia masuk ke
kelasnya. Namun berubah bahagia ketika melihat teman-temannya. Yah hampir 1 tahun
bersama, membuat kedekatan mereka bagaikan keluarga antara satu sama lain.
“Hai Ran, PR kimia lo udah
siap belum?” Tanya Rian dengan tampang memohon pada Rani untuk meminjamkan
bukunya.
“Enak aja, kerjain
sendiri dong.” Kata Rani sampai menjulurkan lidahnya
“Ran, gue traktir kebab
nanti.” Kata Rian, berusaha meyakinkan Rani
“Iya deh, cepat ya” Kata
Rani sambil memberikan bukunya pada Rian.
Rani
memang anak yang cukup pintar di kelasnya. Hampir setiap semester dia masuk
juara 3 besar di kelasnya. Selain itu dia juga anak yang ramah serta mudah
bergaul. Dia juga mengikuti ekskul musik di sekolah, khususnya piano. Setelah
pulang sekolah nanti, dia dan anak-anak ekskul musik akan berkumpul di ruang musik.
“Teman-teman bulan depan
kita akan mengadakan pentas seni, jadi setiap anak musik harus menampilkan
kemampuannya. Baik itu Kelompok atau pun perorangan. Selain itu hari ini kita kedatangan
anggota baru. Dia juga anak baru di sekolah ini. Ngomong-ngomong tolong dong
perkenalkan diri kamu.” Kata Sheril. Ia adalah ketua ekskul musik.
“Nama saya Dio, saya dari
kelas XI IPA 6. Senang bertemu kalian.” Kata Dio sambil menyunggingkan senyum
manisnya yang membuat seluruh perempuan disana cukup terpesona. Anak-anak
perempuan sibuk membicarakan tentang Dio, kecuali Rani.
Ia
memang seperti itu, bukannya tidak menyukai cowok. Apalagi seganteng Dio.
Tetapi, mungkin perasaannya sudah digembok dan ntah kapan akan terbuka kembali.
Bukannya bergosip dengan teman-temannya dia mulai memainkan pianonya sekedar
latihan untuk pentas seni bulan depan.
“Hai.” Kata Dio dengan
senyumnya tadi
“Hai.” Kata Rani, dengan
biasa-biasa saja
“Nama gue Dio.” Sambil
menuyulurkan tangannya pada Rani
“Rani.” Jawab Rani
singkat
“Mau mainin lagu apa?”
Tanya Dio pada Rani.
“Lagu “Let Her Go”. ”
Jawab Rani.
“Ciee, lagi patah hati
ya”
“Nggak juga.”
“Boleh ikut main nggak?” Tanya
dio lagi.
“Kenapa nggak?”
Dengan cepat Dio duduk
dibangku di samping Rani. Mereka pun mulai memainkan lagu itu bersama-sama.
Mereka berdua kelihatan sekali sudah sangat handal bermain piano. Ntah
bagaimana, ada sesuatu yang Rani rasakan. Perasaan yang selama ini, mungkin
sudah lenyap. Dalam hatinya ia berkata “Ran, tolong dong. Lo gak boleh ngerasa
sakit lagi. Jangan ngebiarin itu terjadi Ran.”.
Dalam renungannya, ia baru tersadar bahwa lagu yang mereka mainkan baru
saja selesai. Dan suara tepuk tangan dari anak-anak lain, menyadarkan nya.
“Cieeee,,,,,”
“Kalian kompak banget”
“Baru aja sehari kenalan,
udah deket banget kayaknya”
Dengan cepat ia, keluar
dari ruang music. Ia tak ingin melihat cowok itu lagi. Ia tak ingin merasakan
perasaan itu lagi. Hati dan perasaannya bagaikan sedang mengalami perdebatan
yang cukup besar. Rani berlari ke sebuah taman di belakang sekolah.
Satu-satunya tempat disekolah itu yang bisa membuat hatinya merasakan sebuah
kenyamanan.
Bel
pulang pun berbunyi, satu-satunya hal yang selalu ditunggu murid-murid.
Sesampainya di rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Dan setelah
beberapa menit, baru dia masuk ke kamarnya. Hari sudah cukup sore, ketika dia
tersadar dari tidurnya.
“Ran, keluar dong. Ada
tamu nih, tolong buatin minum dong sayang.” Kata mamanya dari ruang tamu
“Iya ma, sebentar.” Kata
rani sambil berjalan menuju dapur untuk membuat minuman.
Betapa
terkejutnya dia, ketika melihat dio sedang bertamu di rumahnya. Untung saja
tangannya tidak secara refleks melemparkan minuman itu.
“Hai Rani.” Sapa dio,
lagi-lagi dengan senyum yang maut itu.
“Kok lo bisa tau rumah
gue? Ngapain lo kesini?” Tanya Rani dengan bingung.
“Yaelah Ran, kita kan
tetanggaan.”
“Hah? Tetangga apanya?
“Jadi gini loh Ran, si
dio ini keponakan Om Fadli dan Tante Nia.” Kata mama rani menjelaskan.
“oooohh, gitu.”
“Ngomong-ngomong diminum
dong minumannya.” Kata mama rani lagi
“Iya tante, makasih”
Setelah meminum
minumannya Dio pun segera pulang.
“Udah sore ni tante, Dio
pulang ya?”
“Iya Dio, silakan”
“Ran, besok pagi ke
sekolahnya sama gue aja ya?”
“Hah? Nggak usah. Gue
bisa pergi sendiri kok” kata Rani lagi.
“udah deh Ran, kamu sama
dio aja. Besokkan jadwal mama mau service mobil kamu.” Kata mama menjelaskan
“Iya ran, gue gak merasa
direpotkan kok. Lagian kan kita tetanggaan.”
“iya deh iya.” Jawab Rani
dengan malas
Kini
hampir tiap hari Rani dan Dio pergi-pulang sekolah bersama-sama. Walau perlahan
namun pasti mereka pun, semakin dekat. Setiap pulang sekolah mereka juga sering
latihan piano berdua, untuk ditampilkan pada acara pentas seni sabtu besok.
Acara pentas seni itu pun tiba, hal yang sangat ditunggu oleh semua murid di
sekolah itu. Akhirnya tiba lah giliran Dio dan Rani. Rani dengan gaun berwarna
hijau toska, serta high heel yang tidak cukup tinggi, kelihatan sangat cantik.
Begitu juga dengan dio yang menggunakan jas dan kemeja berwarna putih. Mereka
berdua kelihatan sangat serasi.
Lantunan
lagu “Fix You” mulai mengiringi permainan piano mereka. Semua penonton
kelihatan sangat menikmati lagu itu. Dan diakhir permainan, Dio mengambil
microfone dan mengatakan sesuatu. Sementara itu Rani, hanya duduk diam merasa
bingung dengan apa yang dilakukan Dio.
“Sebenarnya lagu yang
kami mainkan tadi, adalah lagu yang saya tujukan untuk seseorang. Seseorang
yang mengerti dan melihat saya bukan hanya melihat fisik. Seseorang yang selalu
menemani saya dengan sangat tulus. Dan malam ini, saya ingin bertanya padanya
do you want to be my girl friend, Rani?” Kata Dio menjelaskan.
“Kamu gak salah ngomong
yo?” Tanya Rani kebingungan
“Nggak ran, jawab dong”
Semua penonton sibuk
menyuruh Rani mengatakan Ya pada dio.
“Okay, mungkin aku
bakalan buka hati aku lagi. Dan ya, aku mau yo.”
“makasih Ran.”
Hari
itu Rani merasakan hal itu lagi. Perasaan bahagia, yang selama ini sangat ia
hindari. Setelah acara pentas seni itu selesai Dio mengantar Rani pulang ke
rumah. Dan kemuadian pamit pada Rani. Ketika membuka pintu rumah betapa
terkejutnya Rani melihat papa dan mamanya sedang bertengkar. Satu-satunya hal
yang tidak pernah ia lihat selama ini di rumah itu.
“Kamu itu ya diam aja!
Ini masalah aku. Yang punya toko itu aku bukannya kamu!” Bentak papa nya kepada
mama Rani.
“Paling tidak kamu itu
kasi tau aku pa. Aku gak mau tau, pokoknya aku pengen kita cerai aja. Aku gak
bisa lagi tinggal sama kamu. Aku juga bakalan bawa anak-anak. Besok pagi, aku
bakalan ngurus surat pindah sekolah mereka.” Kata mama Rani sambil
terus-terusan menangis.
Bagai
dihantam besi dikepalanya, dia merasakan sakit yang luar biasa. Tanpa ingin
membuat orang tuanya melihat dirinya, ia masuk ke kamar sambil menangis tanpa
henti. Tapi kali ini, sakit di hati dan dikepalanya terasa sangat menyakitkan.
Apa lagi kata-kata mamanya, masih terus terngiang di kepala gadis yang baru
saja merasakan kebahagiannya lagi.
Dengan
berat hati hari ini Rani pergi ke sekolah.
“Ran, kamu kenapa? Kok
lemes gitu? Kamu sakit Ran?” Tanya Dio dengan wajah cemasnya
“Aku gak kenapa-kenapa.
Cuman kecapekan aja.”
“Oh iya deh, Ran.”
“iya, Dio pulang sekolah
nanti kamu mau nggak ngajakin aku pergi jalan-jalan?” Minta Rani pada Dio
“Apa sih yang nggak buat
kamu Ran.” Kata Dio.
Sepulang
sekolah, mereka pun pergi jalan-jalan. Makan berdua di sebuah café, main game
di timezone, serta nonton film di bioskop. Sebenarnya hari ini adalah hari terakhir Rani
bersama dio. Karena mulai besok ia, Rama dan mamanya akan pindah ke Bandung.
Pagi-pagi
sekali Rani, Rama dan mamanya sudah pergi ke bandung. Rani juga tidak
mengatakan apa-apa kepada dio tentang kepergiannya ini. Dio hanya tau kalau
Rani sudah pindah sekolah. Perasaan kesal, hancur, dan merasa dibohongi mulai
berkecamuk di hati Dio saat ini. Ia tak pernah berpikir bahwa Rani akan
melakukan ini padanya. Padahal baru beberapa hari yang lalu, ia menyatakan
perasaannya pada gadis itu. Disisi lain, Rani yang sekarang bersekolah di
Bandung terus-terusan merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada Dio. Namun
ia berusaha kelihatan tegar. Dan mulai membuka lembaran baru di sekolahnya ini.
Hampir
1 tahun Dio mencari Rani. Dan hari ini ia sungguh bahagia karena akhirnya ia
tahu dimana Rani tinggal. Perasaannya pada Rani masih seperti yang dulu. Tak
kan ada yang mengisi hatinya selain Rani. Besok pagi ia sudah berencana untuk
pergi ke rumah Rani berbekal alamat yang ia dapatkan.
Hari
demi hari berlalu, bulan demi bulan pun berganti. Saat mengetahui dirinya
mempunyai penyakit kanker selaput
otak, Rani merasakan sakit yang luar biasa. Apakah masih kurang penderitaan
yang dia alami? Keluarga yang berantakan, harus kehilangan cowok yang
disayanginya, kini ia harus mengalami sakit ini lagi. Biaya perawatan yang
cukup mahal membuat Rani meminta mamanya untuk dirawat di rumah saja. Kini ia
hanya menunggu waktu kapan ia akan dipanggil. Namun tetap berharap, setelah kepergiannya
ia akan meninggalkan senyum manis pada wajah mamanya itu.
Hari
ini Rani meminta mamanya untuk menelpon papa, dan menyuruhnya untuk datang ke
Bandung. Dan tepat jam 7 malam, papa Rani sudah tiba di Bandung. Rani sungguh
rindu tatapan bijaksana itu.
“Pa ma, kalau Rani pergi
nanti. Papa sama mama harus janji sama Rani, walaupun kalian berdua mungkin gak
bakalan bisa sama-sama lagi, kalian harus tetap jaga silaturahmi.” Kata Rani
pada mama dan papanya.
“Rama, kamu juga gak
boleh terlalu tergantung sama orang lain. Kamu harus belajar mandiri.” Kata
Rani lagi pada Rama, adiknya.
“Ma, diatas meja itu ada
surat. Dulu rani pengen banget ngasi itu sama Dio. Kalau nanti mama ketemu Dio,
tolong kasiin surat ini ke dia ya ma? Pokoknya kalau aku pergi nanti kalian
semua harus tegar.” Kata Rani sambil tersenyum pada keluarganya
“iya sayang, kita semua
bakalan ngikutin semua permintaan kamu.” Kata mama pada Rani.
Setelah mendengar
permintaannya akan dituruti, ia pun mengucapkan asma allah. Dan mulai menutup
matanya sambil tersenyum dengan tenang.
Sesampainya
Dio di rumah Rani, ia sangat terkejut melihat bendera putih tergantung disana.
Firasatnya mulai tidak enak. Suara bacaan yasiin pun samar-samar terdengar dari
rumah itu. Dan betapa terkejutnya Dio melihat tubuh perempuan yang sangat ia
sayangi telah terbaring kaku dengan senyum tersayangnya.
“Kamu Dio kan?” Tanya
mama Rani pada Dio
“Iya tante.” Jawab dio
kelihatan bingung.
“Ini, Rani meminta tante.
Buat ngasiin ini ke kamu.” Kata mama Rani, sambil menyerah amplop biru.
“iya tante, makasih.
Tante yang sabar ya? Mungkin ini jalan terbaik yang dikasi allah buat kita
semua.” Kata Dio memberi semangat pada mama Rani.
“Iya, kamu juga yang
tegar ya.” Kata mama Rani lagi.
Dio hanya memberi senyum
pada mama Rani, dan pergi meninggalkan rumah itu. Lalu, pergi ke sebuah danau yang ada di belakang
rumah rani. Ia tersenyum melihat danau itu. Ia seakan-akan bisa membayangkan
Rani sedang duduk ditepi danau, seperti yang sering ia lakukan di belakang
sekolah dulu. Dan kemudian, ia teringat dengan surat yang diberi mama Rani
padanya. Perlahan namun pasti, ia membuka surat itu. Dan air mata itu pun mulai
terjun bebas dari matanya.
Hai Dio..
Apa kabar? Waktu kamu baca surat ini pasti kamu udah tau
kalau aku udah nggak ada lagi di dunia yang fana ini. Ngomong-ngomong aku minta
maaf sama kamu yo atas semua kesalahanku. Pertama, aku minta maaf karena aku
pindah ke Bandung tanpa memberitahumu. Saat itu aku sedang merasa frustasi yo.
Ayah dan ibuku baru saja bercerai saat itu. Dan di Bandung aku ingin membuka
lembaran baru. Namun takdir berkata lain, aku terkena kanker selaput otak yo.
Hampir 1 tahun aku menahan sakit ini. Ntah kenapa hari itu aku ingin sekali
menulis surat ini untukmu. Padahal mungkin jika dipikir-pikir kamu gak mungkin
mencariku lagi. Sekali lagi aku minta maaf Dio.
Aku lega sudah memberitahu ini semua, sekarang terserah
kamu, mau kamu buang surat ini atau kamu bakar. Perasaan aku udah lega. Aku
menangis saat menulis surat ini. Untuk kesekian kalinya aku cengeng ya? Tapi
kamu gak boleh cengeng kayak aku yo. Aku bakalan selalu sayang kamu. Makasih
buat semuanya yo.
Salam Rindu,
Rani
Selesai
membaca surat itu, Dio merasakan penyesalan yang luar biasa. Mengapa dari dulu
dia tidak tahu hal ini? Mengapa dia tidak tahu tentang ini lebih awal?
Seandainya lebih awal, ia bisa melihat Rani walau Cuma sebentar. Mengisi
hari-hari terakhirnya dengan penuh kenangan bahagia. Tapi semua sudah berlalu,
penyesalan hanya tinggal penyesalan. Dio harus belajar merelakan Rani. Rani
pasti sedih jika melihat dirinya seperti ini.
Tema : Ketegaran seorang remaja dalam
menjalani kehidupan
NO
|
Nama Tokoh
|
Tokoh utama
|
Tokoh
Sampingan
|
1
|
Rani
|
ü
|
-
|
2
|
Dio
|
-
|
ü
|
3
|
Mama
|
-
|
ü
|
4
|
Papa
|
-
|
ü
|
5
|
Rama
|
-
|
ü
|
6
|
Rian
|
-
|
ü
|
7
|
Sheril
|
-
|
ü
|
No
|
Struktur
|
Kalimat
Teks
|
1
|
Abstraksi
|
Hampir
1 tahun, Rani mengisi hari-harinya dengan seperti ini. Hanya berbaring
ditempat tidur kesayangannya. Hanya menatap langit-langit kamar sambil terus
mengingat hari bahagianya dulu. Kini, obat-obat itu bagaikan permen dimatanya. Tenggorokan
itu sudah sangat terbiasa dengan segala bentuk jenis obat yang dimakannya.
Tubuh itu sebenarnya sudah sangat lelah hanya berbaring di tempat tidur. Ditemani
dengan selang-selang dan segala macam benda yang membuatnya dapat bertahan
hingga hari ini. Daging yang dulu mengisi tubuhnya, sudah pergi. Dan
meninggalkan tulang yang hanya diselimuti kulit. Mata yang dulu selalu tampak
bahagia, kini lingkaran hitam lah yang selalu mengitarinya. Tubuh yang dulu
selalu bersemangat kini sudah sangat lemas. Dalam hatinya selalu berkata “Ya
Allah, andai aku bisa memilih. Biarkan aku pergi dari dunia yang fana ini.
Aku ikhlas ya Allah”. Setiap ia berpikir seperti itu, air mata itu terus
menetes dengan derasnya.
|
2
|
Orientasi
|
Alarm
di atas meja itu bagai mencuri dirinya dari alam mimpi. Dengan malas dia
bangun dari tempat tidurnya. Dan segera merapikannya. Itu hal yang wajib dia
lakukan setiap hari. Dengan malas dia menyeret dirinya ke kamar mandi.
Setelah mandi, seperti biasa adzan subuh mulai berkumandang. Dengan cepat ia
segera shalat subuh. Karena kalau tidak, ibunya akan mulai menceramahinya.
Dalam shalatnya, ia terus berusaha untuk khusyu. Karena bau nasi goreng mulai
menyelimuti kamarnya.
Seperti
biasa, setiap pagi mereka selalu sarapan bersama. Itu sudah menjadi jadwal
yang harus ditaati di rumah itu.
“Ma, tolong ambilkan nasi gorengnya Rama bu.” Kata Rama dengan wajah memelasnya yang membuat orang lain akan luluh seketika.
“Ambil sendiri kenapa
sih? Manja banget.” Kata Rani, ia sangat tidak menyukai kebiasaan adiknya
itu. Karena dia beranggapan, kalau terus-terusan seperti itu adiknya akan
sangat bergantung pada orang lain.
“Bilang aja kakak iri,
kan?”
“Kakak itu cuman gak
suka sama sikap kamu aja Rama.”
“Sudahlah Ran, adikmu
kan masih kecil.” Kata papanya menenangkan keributan yang terjadi pagi itu.
“Iya pa.” Rani terpaksa
melakukan itu. Karena dimata papanya, seorang kakak harus belajar menjadi
bijaksana. Mereka pun melanjutkan sarapan. Keluarga itu sangat harmonis. Mama
yang penyayang, papa yang bijaksana dan anak-anak yang patuh pada orang
tuanya. Walaupun hidup mereka cukup sederhana. Seorang ayah yang punya toko
buku dan ibu yang menjadi seorang guru
di sebuah sekolah negeri. Yah, tidak ada yang terlalu spesial di dalam
keluarga mereka.
Matahari
semakin tinggi menampakkan dirinya. Seperti biasa dengan malas dia masuk ke
kelasnya. Namun berubah bahagia ketika melihat teman-temannya. Yah hampir 1
tahun bersama, membuat kedekatan mereka bagaikan keluarga antara satu sama
lain.
“Hai Ran, PR kimia lo
udah siap belum?” Tanya Rian dengan tampang memohon pada Rani untuk
meminjamkan bukunya.
“Enak aja, kerjain
sendiri dong.” Kata Rani sampai menjulurkan lidahnya
“Ran, gue traktir kebab
nanti.” Kata Rian, berusaha meyakinkan Rani
“Iya deh, cepat ya”
Kata Rani sambil memberikan bukunya pada Rian.
Rani
memang anak yang cukup pintar di kelasnya. Hampir setiap semester dia masuk
juara 3 besar di kelasnya. Selain itu dia juga anak yang ramah serta mudah
bergaul. Dia juga mengikuti ekskul musik di sekolah, khususnya piano. Setelah
pulang sekolah nanti dia anak-anak ekskul musik akan berkumpul di ruang
musik.
“Teman-teman bulan
depan kita akan mengadakan pentas seni, jadi setiap anak musik harus
menampilkan kemampuannya. Baik itu Kelompok atau pun perorangan. Selain itu
hari ini kita kedatangan anggota baru. Dia juga anak baru di sekolah ini.
Ngomong-ngomong tolong dong perkenalkan diri kamu.” Kata Sheril. Ia adalah
ketua ekskul musik.
“Nama saya Dio, saya
dari kelas XI IPA 6. Senang bertemu kalian.” Kata Dio sambil menyunggingkan
senyum manisnya yang membuat seluruh perempuan disana cukup terpesona.
Anak-anak perempuan sibuk membicarakan tentang Dio, kecuali Rani.
Ia
memang seperti itu, bukannya tidak menyukai cowok. Apalagi seganteng Dio.
Tetapi, mungkin perasaannya sudah digembok dan ntah kapan akan terbuka
kembali. Bukannya bergosip dengan teman-temannya dia mulai memainkan pianonya
sekedar latihan untuk pentas seni bulan depan.
“Hai.” Kata Dio dengan
senyumnya tadi
“Hai.” Kata Rani,
dengan biasa-biasa saja
“Nama gue Dio.” Sambil
menuyulurkan tangannya pada Rani
“Rani.” Jawab Rani
singkat
“Mau mainin lagu apa?”
Tanya Dio pada Rani.
“Lagu “Let Her Go”. ”
Jawab Rani.
“Ciee, lagi patah hati
ya”
“Nggak juga.”
“Boleh ikut main
nggak?” Tanya dio lagi.
“Kenapa nggak?”
Dengan cepat Dio duduk
dibangku di samping Rani. Mereka pun mulai memainkan lagu itu bersama-sama.
Mereka berdua kelihatan sekali sudah sangat handal bermain piano. Ntah
bagaimana, ada sesuatu yang Rani rasakan. Perasaan yang selama ini, mungkin
sudah lenyap. Dalam hatinya ia berkata “Ran, tolong dong. Lo gak boleh
ngerasa sakit lagi. Jangan ngebiarin itu terjadi Ran.”. Dalam renungannya, ia baru tersadar bahwa
lagu yang mereka mainkan baru saja selesai. Dan suara tepuk tangan dari
anak-anak lain, menyadarkan nya.
“Cieeee,,,,,”
“Kalian kompak banget”
“Baru aja sehari
kenalan, udah deket banget kayaknya”
|
3
|
Konflik
|
Dengan cepat ia, keluar
dari ruang music. Ia tak ingin melihat cowok itu lagi. Ia tak ingin merasakan
perasaan itu lagi. Hati dan perasaannya bagaikan sedang mengalami perdebatan
yang cukup besar. Rani berlari ke sebuah taman di belakang sekolah.
Satu-satunya tempat disekolah itu yang bisa membuat hatinya merasakan sebuah
kenyamanan.
Bel
pulang pun berbunyi, satu-satunya hal yang selalu ditunggu murid-murid.
Sesampainya di rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Dan setelah
beberapa menit, baru dia masuk ke kamarnya. Hari sudah cukup sore, ketika dia
tersadar dari tidurnya.
“Ran, keluar dong. Ada
tamu nih, tolong buatin minum dong saying.” Kata mamanya dari ruang tamu
“Iya ma, sebentar.”
Kata rani sambil berjalan menuju dapur untuk membuat minuman.
Betapa
terkejutnya dia, ketika melihat dio sedang bertamu di rumahnya. Untung saja
tangannya tidak secara refleks melemparkan minuman itu.
“Hai Rani.” Sapa dio,
lagi-lagi dengan senyum yang maut itu.
“Kok lo bisa tau rumah
gue? Ngapain lo kesini?” Tanya Rani dengan bingung.
“Yaelah Ran, kita kan
tetanggaan.”
“Hah? Tetangga apanya?
“Jadi gini loh Ran, si
dio ini keponakan Om Fadli dan Tante Nia.” Kata mama rani menjelaskan.
“oooohh, gitu.”
“Ngomong-ngomong
diminum dong minumannya.” Kata mama rani lagi
“Iya tante, makasih”
Setelah meminum
minumannya Dio pun segera pulang.
“Udah sore ni tante,
Dio pulang ya?”
“Iya Dio, silakan”
“Ran, besok pagi ke
sekolahnya sama gue aja ya?”
“Hah? Nggak usah. Gue
bisa pergi sendiri kok” kata Rani lagi.
“udah deh Ran, kamu
sama dio aja. Besokkan jadwal mama mau service mobil kamu.” Kata mama
menjelaskan
“Iya ran, gue gak
merasa direpotkan kok. Lagian kan kita tetanggaan.”
“iya deh iya.” Jawab
Rani dengan malas
Kini
hampir tiap hari Rani dan Dio pergi-pulang sekolah bersama-sama. Walau
perlahan namun pasti mereka pun, semakin dekat. Setiap pulang sekolah mereka
juga sering latihan piano berdua, untuk ditampilkan pada acara pentas seni
sabtu besok. Acara pentas seni itu pun tiba, hal yang sangat ditunggu oleh
semua murid di sekolah itu. Akhirnya tiba lah giliran Dio dan Rani. Rani
dengan gaun berwarna hijau toska, serta high heel yang tidak cukup tinggi,
kelihatan sangat cantik. Begitu juga dengan dio yang menggunakan jas dan
kemeja berwarna putih. Mereka berdua kelihatan sangat serasi.
Lantunan
lagu “Fix You” mulai mengiringi permainan piano mereka. Semua penonton
kelihatan sangat menikmati lagu itu. Dan diakhir permainan, Dio mengambil
microfone dan mengatakan sesuatu. Sementara itu Rani, hanya duduk diam merasa
bingung dengan apa yang dilakukan Dio.
“Sebenarnya lagu yang
kami mainkan tadi, adalah lagu yang saya tujukan untuk seseorang. Seseorang
yang mengerti dan melihat saya bukan hanya melihat fisik. Seseorang yang
selalu menemani saya dengan sangat tulus. Dan malam ini, saya ingin bertanya
padanya do you want to be my girl friend, Rani?” Kata Dio menjelaskan.
“Kamu gak salah ngomong
yo?” Tanya Rani kebingungan
“Nggak ran, jawab dong”
Semua penonton sibuk menyuruh
Rani mengatakan Ya pada dio.
“Okay, mungkin aku
bakalan buka hati aku lagi. Dan ya, aku mau yo.”
“makasih Ran.”
Hari
itu Rani merasakan hal itu lagi. Perasaan bahagia, yang selama ini sangat ia
hindari. Setelah acara pentas seni itu selesai Dio mengantar Rani pulang ke
rumah. Dan kemuadian pamit pada Rani. Ketika membuka pintu rumah betapa
terkejutnya Rani melihat papa dan mamanya sedang bertengkar. Satu-satunya hal
yang tidak pernah ia lihat selama ini di rumah itu.
“Kamu itu ya diam aja!
Ini masalah aku. Yang punya toko itu aku bukannya kamu!” Bentak papa nya
kepada mama Rani.
“Paling tidak kamu itu
kasi tau aku pa. Aku gak mau tau, pokoknya aku pengen kita cerai aja. Aku gak
bisa lagi tinggal sama kamu. Aku juga bakalan bawa anak-anak. Besok pagi, aku
bakalan ngurus surat pindah sekolah mereka.” Kata mama Rani sambil
terus-terusan menangis.
Bagai
dihantam besi dikepalanya, dia merasakan sakit yang luar biasa. Tanpa ingin
membuat orang tuanya melihat dirinya, ia masuk ke kamar sambil menangis tanpa
henti. Tapi kali ini, sakit di hati dan dikepalanya terasa sangat
menyakitkan. Apa lagi kata-kata mamanya, masih terus terngiang di kepala
gadis yang baru saja merasakan kebahagiannya lagi.
Dengan
berat hati hari ini Rani pergi ke sekolah.
“Ran, kamu kenapa? Kok
lemes gitu? Kamu sakit Ran?” Tanya Dio dengan wajah cemasnya
“Aku gak kenapa-kenapa.
Cuman kecapekan aja.”
“Oh iya deh, Ran.”
“iya, Dio pulang
sekolah nanti kamu mau nggak ngajakin aku pergi jalan-jalan?” Minta Rani pada
Dio
“Apa sih yang nggak
buat kamu Ran.” Kata Dio.
Sepulang
sekolah, mereka pun pergi jalan-jalan. Makan berdua di sebuah café, main game
di timezone, serta nonton film dibioskop. Sebenarnya hari ini adalah hari
terakhir Rani bersama dio. Karena mulai besok ia, Rama dan mamanya akan pindah
ke Bandung.
Pagi-pagi
sekali Rani, Rama dan mamanya sudah pergi ke bandung. Rani juga tidak
mengatakan apa-apa kepada dio tentang kepergiannya ini. Dio hanya tau kalau
Rani sudah pindah sekolah. Perasaan kesal, hancur, dan merasa dibohongi mulai
berkecamuk di hati Dio saat ini. Ia tak pernah berpikir bahwa Rani akan
melakukan ini padanya. Padahal baru beberapa hari yang lalu, ia menyatakan
perasaannya pada gadis itu. Disisi lain, Rani yang sekarang bersekolah di
Bandung terus-terusan merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada Dio.
Namun ia berusaha kelihatan tegar. Dan mulai membuka lembaran baru di
sekolahnya ini.
Hampir
1 tahun Dio mencari Rani. Dan hari ini ia sungguh bahagia karena akhirnya ia
tahu dimana Rani tinggal. Perasaannya pada Rani masih seperti yang dulu. Tak
kan ada yang mengisi hatinya selain Rani. Besok pagi ia sudah berencana untuk
pergi ke rumah Rani berbekal alamat yang ia dapatkan.
Hari
demi hari berlalu, bulan demi bulan pun berganti. Saat mengetahui dirinya
mempunyai penyakit kankerselaput otak, Rani merasakan sakit yang luar biasa.
Apakah masih kurang penderitaan yang dia alami? Keluarga yang berantakan,
harus kehilangan cowok yang disayanginya, kini ia harus mengalami sakit ini
lagi. Biaya perawatan yang cukup mahal membuat Rani meminta mamanya untuk
dirawat di rumah saja. Kini ia hanya menunggu waktu kapan ia akan dipanggil.
Namun tetap berharap, setelah kepergiannya ia akan meninggalkan senyum manis
pada wajah mamanya itu.
|
4
|
Klimaks
|
Hari
ini Rani meminta mamanya untuk menelpon papa, dan menyuruhnya untuk datang ke
Bandung. Dan tepat jam 7 malam, papa Rani sudah tiba di Bandung. Rani sungguh
rindu tatapan bijaksana itu.
“Pa ma, kalau Rani
pergi nanti. Papa sama mama harus janji sama Rani, walaupun kalian berdua
mungkin gak bakalan bisa sama-sama lagi, kalian harus tetap jaga
silaturahmi.” Kata Rani pada mama dan papanya.
“Rama, kamu juga gak
boleh terlalu tergantung sama orang lain. Kamu harus belajar mandiri.” Kata
Rani lagi pada Rama, adiknya.
“Ma, diatas meja itu
ada surat. Dulu rani pengen banget ngasi itu sama Dio. Kalau nanti mama
ketemu Dio, tolong kasiin surat ini ke dia ya ma? Pokoknya kalau aku pergi
nanti kalian semua harus tegar.” Kata Rani sambil tersenyum pada keluarganya
“iya sayang, kita semua
bakalan ngikutin semua permintaan kamu.” Kata mama pada Rani.
Setelah mendengar
permintaannya akan dituruti, ia pun mengucapkan asma allah. Dan mulai menutup
matanya sambil tersenyum dengan tenang.
|
5
|
Evaluasi
|
Sesampainya
Dio di rumah Rani, ia sangat terkejut melihat bendera putih tergantung
disana. Firasatnya mulai tidak enak. Suara bacaan yasiin pun samar-samar
terdengar dari rumah itu. Dan betapa terkejutnya Dio melihat tubuh perempuan
yang sangat ia sayangi telah terbaring kaku dengan senyum tersayangnya.
“Kamu Dio kan?” Tanya
mama Rani pada Dio
“Iya tante.” Jawab dio
kelihatan bingung.
“Ini, Rani meminta
tante. Buat ngasiin ini ke kamu.” Kata mama Rani, sambil menyerah amplop
biru.
“iya tante, makasih.
Tante yang sabar ya? Mungkin ini jalan terbaik yang dikasi allah buat kita
semua.” Kata Dio memberi semangat pada mama Rani.
“Iya, kamu juga yang
tegar ya.” Kata mama Rani lagi.
|
6
|
Resolusi
|
Dio hanya memberi
senyum pada mama Rani, dan pergi meninggalkan rumah itu. Dan pergi ke sebuah
danau yang ada di belakang rumah rani. Ia tersenyum melihat danau itu. Ia
seakan-akan bisa membayangkan Rani sedang duduk ditepi danau, seperti yang
sering ia lakukan di belakang sekolah dulu. Dan kemudian, ia teringat dengan
surat yang diberi mama Rani padanya. Perlahan namun pasti, ia membuka surat
itu. Dan air mata itu pun mulai terjun bebas dari matanya.
|
7
|
Koda
|
Selesai
membaca surat itu, Dio merasakan penyesalan yang luar biasa. Mengapa dari
dulu dia tidak tahu hal ini? Mengapa dia tidak tahu tentang ini lebih awal?
Seandainya lebih awal, ia bisa melihat Rani walau Cuma sebentar. Mengisi
hari-hari terakhirnya dengan penuh kenangan bahagia. Tapi semua sudah
berlalu, penyesalan hanya tinggal penyesalan. Dio harus belajar merelakan
Rani. Rani pasti sedih jika melihat dirinya seperti ini.
|
Unsur Instrisik
1
|
Sudut Pandang
|
Orang ketiga serba tahu
|
2
|
Alur
|
Maju mundur
|
3
|
Setting
|
Tempat : tempat tidur, kelas,
sekolah, taman belakang sekolah, rumah sakit, bandung
Waktu : hampir 1 tahun, setiap
pagi, jam 7 malam
Suasana : membahagiakan, menegangkan,
menyedihkan
|
4
|
Tokoh dan watak
|
1. Rani : pintar, rajin, ramah,
penyayang, setia, mandiri
2. Dio : setia, penyayang, ramah,
sopan, pantang menyerah, tidak mudah putus asa
3. Rama : manja
4. Mama Rani : penyayang
5. Papa Rani : bijaksana
6. Rian : suka menghalalkan segala
cara
7. Sheril : bijak
|
5
|
Gaya Bahasa
|
1. Personifikasi:
-
Ditemani dengan selang-selang dan segala macam benda yang membuatnya dapat
bertahan hingga hari ini.
-Daging
yang dulu mengisi tubuhnya, sudah pergi.
-Dan
meninggalkan tulang yang hanya diselimuti kulit.
2.
simile
Kini,
obat-obat itu bagaikan permen dimatanya.
|
6.
|
Amanat
|
-jangan pernah menyerah dalam
menghadapi segala cobaan
- jangan menyusahkan orang lain
- jangan menyakiti perasaan orang
lain
|
UNSUR EKSTRISIK
NILAI MORAL
|
Segala cobaan yang diberikan tuhan
kepada kita hanya lah untuk menguji diri kita. Oleh karena itu jangan lah
menyerah dengan keadaan yang terjadi
|
NILAI SOSIAL
|
Selagi suatu pekerjaan itu masih
bisa kita kerjakan. Janganlah menyusahkan orang lain.
|
NILAI BUDAYA
|
Orang Indonesia terkenal dengan
keramah-tamahannya. Oleh karena itu, kita harus membudayakan sifat ramah
|
NILAI AGAMA
|
Jika sedang beribadah sebaiknya
kita serius dalam mengerjakannya
|
NILAI POLITIK
|
Jangan menyembunyikan segala
sesuatu dari orang lain. Karena akhirnya, orang tersebut akan mengetahui
juga. Serta jangan lah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu
|
Kesimpulan : Jangan lah menyerah
dengan keadaan yang terjadi
No comments:
Post a Comment