Tuesday 10 July 2018

Kerajaan Banten


A.             Letak Kerajaan Banten
     Secara geografis, Kerajaan Banten terletak di propinsi Banten. Wilayah kekuasaan Banten meliputi bagian barat Pulau Jawa, seluruh wilayah Lampung, dan sebagian wilayah selatan Jawa Barat. Situs peninggalan Kerajaan Banten tersebar di beberapa kota seperti Tangerang, Serang, Cilegon, dan Pandeglang. Pada mulanya, wilayah Kesultanan Banten termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Sunda

B.              Awal Perkembangan Kerajaan Banten
*                      Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Rajanya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka untuk membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui, Faletehan, Demak berhasil menduduki Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Sejak saat itu, Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis.
*                      Pada tahun 1552 M, Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya,Hasanuddin. Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552-1570 M), Banten cepat berkembang menjadi besar. Wilayahnya meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang.
*                      Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
*                      Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
*                      Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.

C.             Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

D.              System Kepercayaan
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

E.              Aspek Ekonomi dan  Sosial
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman .

F.               Silsilah Pemerintahan Kerajaan Baten

1. Maulana Hasanuddin (1552-1570)

Dalam Babad Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya, Hasanuddin, datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten.
Mula-mula mereka datang di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 Ajar yang kemudian semuanya menjadi pengikut Hasanuddin. 
Di lereng Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya.
Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Sesekali bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Dalam menyebarkan agama Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan cara-cara yang dikenal masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian. Diceritakan, bahwa cara menyabung ayam di Gunung Lancar yang dihadiri oleh banyak pembesar negeri, dua orang Ponggawa Pajajaran : Mas Jong dan Agus Jo disebut juga Ki Jongjo memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.
Setelah Banten dikuasai oleh pasukan Demak dan Cirebon pada tahun 1525, atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah, pada tanggal 1 Muharram 1526 Masehi. Atau 8 Oktober 1526 Masehi, Pusat Pemerintahan Banten, yang tadinya berada di pedalaman Banten (Banten Girang) di pindahkan ke dekat pelabuhan Banten.
Maka pada tahun 1552 Banten yang tadinya hanya sebuah Kadipaten diubah menjadi sebuah Negara bagian Demak dengan Hasanuddin sebagai Rajanya, dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.
Maulana Hasanuddin, dalam usahanya membangun dan mengembangkan Kota Banten, lebih menitikberatkan pada pengembangan di sector perdagangan, disamping memperluas daerah pertanian dan perkebunan. Ia berusaha mendorong peningkatan pendapatan rakyatnya dengan melalui pertumbuhan pasar yang sangat cepat. Karena Banten menjadi tempat persinggahan perdagangan rempah-rempah.
Karena banyaknya pedagang muslim yang juga aktif menyebarkan ajaran Islam. Akhirnya Banten pun menjadi pusat penyebaran ajaran Islam untuk Jawa Barat dan sebagian Sumatera.
Banten Melepaskan Diri Dari Kuasa Demak. Kemelut berkepanjangan yang melanda pemerintahan Demak. Dalam waktu yang bersamaan, Banten mengalami kemajuan dalam segala segi. Situasi demikianlah yang mendorong Hasanuddin mengambil keputusan untuk melepaskan Banten dari pengawasan Demak.
Banten menjadi kerajaan yang berdiri sendiri, dengan Maulana Hasanuddin sebagai Raja Pertamanya. Sedang wilayah kekuasaannya pada waktu itu meliputi Banten, jayakarta sampai Kerawang, lampung, Indrapura sampai Solebar.
Tindakan Hasanuddin yang melepaskan diri dari pengawasan Demak ini dianggap sangat penting, karena disamping untuk kemajuan pengembangan daerah Banten, juga, berarti Hasanuddin tidak mau ikut terlibat dalam keributan di pemerintahan Demak, yang masih terhitung famili dekat.
Maka dalam masa pemerintahan Hasanuddin selama 18 tahun (1552-1570), banyak kemajuan yang diperoleh Banten dalam segala bidang kehidupan.
Dalam kehidupan pribadi Maulana Hasanuddin, dari pernikahannya pada tahun 1526 dengan Putri Raja Demak, yang bernama Ratu Ayu Kirana (putra Pangeran Trenggono),
dari pernikahan dengan Ratu Ayu Kirana dikaruniai anak :
Ratu Pembayun,
Pangeran Yusuf,
Pangeran Arya,
Pangeran Sunyararas,
Pangeran pajajaran,
Pangeran Pringgalaya,
Ratu Agung atau ratu Kumadaragi,
Pangeran malona Magrib, dan 
Ratu Ayu Arsanengah.

Sedangkan anak dari istri yang lainnya :
Pangeran wahas,
Pangeran Lor,
Ratu Rara,
Ratu Keben,
Ratu Terpenter, 
Ratu Wetan dan
Ratu Biru.

Ratu Pembayun kemudian menikah dengan Ratu Bagus Angke putra Ki Mas Wisesa Adimarta yang selanjutnya mereka tinggal di Angke daerah Jayakarta (Djajaningrat, 1983:128)
Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dikuburkan di samping Masjid Agung. Setelah meninggalnya Maulana Hasanuddin dikenal dengan sebutan Sedakingkin, kemudian sebagai gantinya dinobatkan Pangeran Yusuf menjadi Raja Banten Ke-2.






2. Maulana Yusuf (1570-1580)
Masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, pembangunan Negara lebih dipusatkan pada bidang keamanan kota, perluasan wilayah perdagangan, disamping penyebaran dan pemantapan kepercayaan rakyat kepada ajaran agama Islam.
Sedangkan pada Maulana Yusuf strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Tahun 1579, pasukan banten dapat merebut Pakuan, Ibukota Kerajaan pajajaran (Djajaningrat 1983:153). Ponggawa-ponggawa yang ditaklikan lalu di Islamkan dan masing-masing dibiarkan memegang jabatannya semula (Djajaningrat 1983:153)
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah demikian maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari segala penjuru dunia yang nantinya disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara (Sutjipto.1961:13).
Dengan majunya perdagangan maritime di Banten, maka Kota Surosowan, sejak pindahnya kota ini dari Wahanten Girang tanggal 8 Oktober 1526 Masehi dikembangkan menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa (Michrob,dkk,1990)
Babad Banten pupuh XXII menyatakan :
Gawe Kuta Baluwarti Bala Kalawan Kawis.
Artinya :
Membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang.

Dari awal Dinasti Maulana Yusuf inilah banten menjadi ramai baik oleh penduduk pribumi maupun pendatang.
Perbaikan Masjid Agung pun dikerjakannya, dan sebagai kelengkapan dibuatlah menara dengan bantuan Cek Ban Cut arsitek muslim asal Mongolia (Ismail,1983). 
Disamping mengembangkan pertanian yang sudah ada, untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut, dibuatlah terusan-terusan irigasi dan bendungan-bendungan (Djajaningrat,1983:38 dan 59).
Bagi persawahan yang terletak di sekitar kota, dibangun satu danau buatan yang dinamakan Tasikardi . Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini.
Dari Permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua anak yaitu :
Ratu Winaon, dan
Pangeran Muhammad.

Sedangkan dari istri-istri lainnya baginda dikaruniai anak antara lain :
Pangeran upapati,
Pangeran Dikara,
Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina,
Pangeran Aria Ranamanggala,
Pangeran Mandura,
Pangeran Seminingrat,
Pangeran Dikara,
Ratu Demang atau Ratu Demak,
Ratu pacatanda atau ratu Mancatanda,
Ratu rangga,
Ratu manis,
Ratu Wiyos, dan
Ratu balimbing (Djajaningrat,1983:163)

3. Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan (1580-1596)
Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agaman Islam. Ia banyak mengarang kitab-kitab agama yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Sultan sangat hormat kepada gurunya yang bernama Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kesunyatan di Kampung Kesunyatan (Djajaningrat,1983:39 dan 164).
Peristiwa yang sangat menonjol pada masa Maulana Muhammad adalah peristiwa penyerbuan ke Palembang. Kejadian ini bermula dari hasutan Pangeran Mas yang ingin menjadi Raja di Palembang (Hamka,1972:78-84). Pangeran Mas adalah putra dari Aria Pangiri, putra dari sunan Prawoto atau pangeran Mu’min dari Demak.
Terdorong oleh darah mudanya dan pandainya Pangeran Mas membujuk, sultan pun dapat dipengaruhinya. Saran Mangkubumi dan pembesar-pembesar senior lainnya tidak di indahkannya.
Dengan 200 kapal perang berangkatlah pasukan Banten dipimpin oleh Sultan Muhammad yang didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas. Lampung Seputih dan Semangka diperintahkan untuk mengerahkan tentaranya menyerang dari darat. Maka terjadilah pertempuran hebat di Sungai Musi sampai berhari hari lamanya. Dan akhirnya pasukan Palembang dapat dipukul mundur. Tapi dalam keadaan yang hamper berhasil itu, Sultan yang memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri tertembak yang mengakibatkan kematiannya. Penyerangan tidak dilanjutkan, pasukan Banten kembali tanpa hasil (Djajaningrat,1983:41-42 dan Hamka,1982:78-84), terjadi pada tahun 1596 Masehi.
Pangeran Mas tidak berani berlama lama menetap di Banten karena rakyat menganggap dialah penyebab kematian Sultan, sehingga ia pergi kepada Pangeran Ancol di Jayakarta untuk bias menetap disana. Tetapi di Jayakarta pun Pangeran Mas tidak disenangi, akhirnya disuatu malam didapati Pangeran Mas dibunuh oleh anak kandungnya sendiri (Hamka,1982:84).
Maulana Muhammad meninggal dalam usia yang sangat muda kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putrid dari Mangkubumi. Anak inilah yang menggantikan pemerintahannya. 
Maulana Muhammad setelah meninggalnya diberi gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana, dan dikuburkan diserambi Masjid Agung (Djajaningrat,1983:169).

4. Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651)
Setelah Maulana Muhammad meninggal dunia, maka sebagai penggantinya dinobatkan anaknya, Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan. Karena itu, untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuk Mangkubumi Jayanegara sebagai walinya.
Mangkubumi Jayanegara adalah seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam hal pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, beliau selalu musyawarah dengan pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang ditunjuk sebagai pengasuh Sultan Muda yang bernama Nyai Emban Rangkun (Djajaningrat, 1983:169).
Masa pemerintahan perwalian oleh Mangkubumi Jayanegara sebagai wali Sultan Abul Mafakhir adalah masa yang paling pahit dalam pemerintahan Banten, karena adanya pertentangan diantara beberapa keluarga kerajaan yang saling berbeda kepentingan disamping adanya keinginan dari pihak yang hendak merebut tahta kerajaan karena Sultan masih kecil.
Mangkubumi Jayanegara meninggal pada tahun 1602 yang digantikan oleh adiknya. Tapi tidak lama kemudian, yaitu pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat dari jabatannya karena “berkelakuan tidak baik”. Dan karena dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan dan irihati diantara pangeran dan pembesar Negara, maka diputuskan untuk tidak mengangkat Mangkubumi baru, sedangkan perwalian diserahkan pada ibunda Sultan, Nyai Gede Wanagiri (Djajaningrat,1983:170).
Tidak lama kemudian Nyai Gede Wanagiri menikah kembali dengan seorang bangsawan keraton, atas desakannya pula, suaminya itu diangkat sebagai Mangkubumi. Dalam kenyataan sehari-hari, Mangkubumi yang baru ini disamping tidak mempunyai wibawa, juga banyak menerima suap dari pedagang-pedagang asing, hingga banyak peraturan dan perjanjian dagang yang lebih banyak menguntungkan pribadi dibanding untuk kepentingan Negara dan rakyat. Keadaan ini menimbulkan peperangan diantara saudara kerajaan. Perang Saudara ini lebih dikenal dengan istilah Pailir, terjadi sekitar pada tanggal 8 Maret 1608 sampai 26 Maret 1609 (Djajaningrat,1983:43:46 dan 169:179).
Melalui usaha pangeran Jayakarta akhirnya perang saudara ini dapat dihentikan dan perjanjian damai dapat disepakati bersama. Setelah perang saudara usai Banten kembali menjadi aman, kemudian diangkat kembali Mangkubumi Baru Pangeran Ranamanggala juga sebagai wali Sultan Muda.
Pangeran Arya Manggala adalah putra Maulana Yusuf dari istri yang bukan permaisuri. Tindakan pertama yang dilakukan sebagai mangkubumi adalah menertibkan keamanan Negara. Yaitu dengan memberikan hukuman tegas kepada Pangeran atau Ponggawa yang melakukan penyelewengan. Dan mengadakan perjanjian-perjanian dagang.
Kira-kira bulan Januari 1624, Mangkubumi Pangeran Arya Ranamanggala meletakkan jabatannya karena sakit. Diserahkannya segala wewenangnya kepada Sultan Abdul Kadir yang memang sudah dewasa.
Dua tahun kemudian yakni tanggal 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan diserambi Masjid Agung, kemudian masyarakat menyebutnya Pangeran Gede. (Djajaningrat,1983:191)
Setelah meninggalnya Mangkubumi Arya Ranamanggala, Kesultanan Banten sepenuhnya ditangan Abdul Kadir.
Sultan Abdul Kadir, dari Permaisurinya Putri Pangeran Rangga Singasari mempunyai lima anak :
Pangeran Pekik (bergelar Sultan Ma’ali Ahmad, sepulang dari Mekkah),
Ratu Dewi,
Ratu Mirah,
Ratu Ayu, dan
Pangeran Banten.

Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul kadir diutuslah beberapa pembesar istana ke Mekkah pada tahun 1633 atau 1634. Utusan ini dipimpin oleh Labe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran Pekik sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.
Sekitar tanggal 21 April 1638 rombongan yang diutus ke Mekkah sampai kembali di Banten. Tidak lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda Sultan yakni Nyai Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah Sultan, ibundanya dikuburkan di desa Kenari.
Dalam sejarah Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai ulama saleh. Salah satu kitab karangannya Insan Kamil.

Sultan Abulma’ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut :
Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma (putrid Pangeran Jayakarta) dikaruniai lima anak :
Ratu Kulon (Ratu Pembayun),
Pangeran Surya,
Pangeran Arya Kulon,
Pangeran Lor, dan
Pangeran Raja. (Tjandrasasmita,1976:8)

Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah (Ratu Wetan) mempunyai anak :
Pangeran Wetan,
Pangeran Kidul,
Ratu Inten, dan
Ratu Tinumpuk.

Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra :
Ratu Petenggak,
Ratu Tengah,
Ratu Wijil,
Ratu Pusmita,
Pangeran Arya Dipanegara atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara,
Pangeran Aryadikusuma atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru. (Djajaningrat,1983:59).

Putra Mahkota Pangeran Pekik atau Sultan Abulma’ali Ahmad meninggal dunia, setelah menderita sakit yang lama (1650), dimakamkan di pekuburan Kenari, sebagai penggantinya diserahkan kepada anaknya yakni Pangeran Surya dengan gelar Pangeran Adipati Anom (Sultan Banten Ke 5) juga digelari Pangeran Ratu ing Banten sebagai seorang ahli strategi perang.
Tidak lama setelah itu yakni 10 Maret 1651, Sultan Abumafakir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di Kenari, berdekatan dengan makam ibundanya dan putra kesayangannya.

G.             Kehidupan Politik dan Pemerintahan kerajaan Banten
Pada awal berkembangnya masyarakat pantai Banten, Banten merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Namun pada tahun 1524 wilayah Banten berhasil dikuasai oleh Kerajaan Demak di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah. Pada waktu Demak terjadi perebutan kekuasaan, Banten melepaskan diri dan tumbuh menjadi kerajaan besar.
Setelah itu, kekuasaan Banten diserahkan kepada Sultan Hasanudin, putra Syarif Hidayatullah. Sultan Hasanudin dianggap sebagai peletak dasar Kerajaan Banten. Banten semakin maju di bawah pemerintahan Sultan Hasanudin karena didukung oleh faktor-faktor berikut ini:
Letak Banten yang strategis terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Banten menjadi bandar utama karena dilalui jalur perdagangan laut.
Banten menghasilkan rempah-rempah lada yang menjadi perdagangan utama bangsa Eropa menuju Asia.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Hal-hal yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa terhadap kemajuan Kerajaan Banten adalah sebagai berikut:
Memajukan wilayah perdagangan. Wilayah perdagangan Banten berkembang sampai ke bagian selatan Pulau Sumatera dan sebagian wilayah Pulau Kalimantan.
Banten dijadikan sebagai tempat perdagangan internasional yang mempertemukan pedagang lokal dengan para pedagang asing dari Eropa.
Memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam sehingga banyak murid yang belajar agama Islam ke Banten.
Melakukan modernisasi bangunan keraton dengan bantuan arsitektur Lucas Cardeel. Sejumlah situs bersejarah peninggalan Kerajaan Banten dapat kita saksikan hingga sekarang di wilayah Pantai Teluk Banten.
Membangun armada laut untuk melindungi perdagangan. Kekuatan ekonomi Banten didukung oleh pasukan tempur laut untuk menghadapi serangan dari kerajaan lain di Nusantara dan serangan pasukan asing dari Eropa.
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu raja yang gigih menentang pendudukan VOC di Indonesia. Kekuatan politik dan angkatan perang Banten maju pesat di bawah kepemimpinannya. Namun akhirnya VOC menjalankan politik adu domba antara Sultan Ageng dan putranya, Sultan Haji. Berkat politik adu domba tersebut Sultan Ageng Tirtayasa kemudian berhasil ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat pada tahun 1629 Masehi.

H.             Puncak Kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

I.                Perang Saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
J.              Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.

K.             Kemunduran Kerajaan Banten
     Penyebab kemunduran Kerajaan Banten berawal saat mangkatnya Raja Besar Banten Maulana Yusuf. Setelah mangkatnya Raja Besar terjadilah perang saudara di Banten antara saudara Maulana Yusuf dengan pembesar Kerajaan Banten. Sejak saat itu Banten mulai hancur karena terjadi peang saudara, apalagi sudah tidak ada lagi raja yang cakap seperti Maulana Yusuf.

No comments:

Post a Comment