A.
Letak
Kerajaan Banten
Secara geografis,
Kerajaan Banten terletak di propinsi Banten. Wilayah kekuasaan Banten meliputi
bagian barat Pulau Jawa, seluruh wilayah Lampung, dan sebagian wilayah selatan
Jawa Barat. Situs peninggalan Kerajaan Banten tersebar di beberapa kota seperti
Tangerang, Serang, Cilegon, dan Pandeglang. Pada mulanya, wilayah Kesultanan
Banten termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Sunda
B.
Awal
Perkembangan Kerajaan Banten
Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan
Pajajaran. Rajanya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di
Malaka untuk membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui, Faletehan,
Demak berhasil menduduki Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Sejak saat itu,
Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang
berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis.
Pada tahun 1552 M, Faletehan menyerahkan
pemerintahan Banten kepada putranya,Hasanuddin. Di bawah pemerintahan
Sultan Hasanuddin (1552-1570 M), Banten cepat berkembang menjadi besar.
Wilayahnya meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal
dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan
Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain
untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu
oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini
dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka
mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama
dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa
sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan
Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di
Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah
penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan
tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja
Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan
dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah
meninggalnya Trenggana,Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai
melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari
Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten
ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579.
Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai
Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit
gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam
penaklukkan tersebut.
C.
Kependudukan
Kemajuan
Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis.
Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain
dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa
sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat
antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber
lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang
siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh
Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun
1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau
senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa
pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk,
termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun
1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang
migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina
Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran
pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan
masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat
Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah
membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
D.
System
Kepercayaan
Berdasarkan data arkeologis, masa awal
masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan
Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan
bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran
agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya.
Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk
ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk
pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan
Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad,
dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan
masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten.
Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak
terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di
masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam
pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian
sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti
hudud.[22]
Toleransi umat beragama di Banten,
berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu
diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673
telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
E.
Aspek
Ekonomi dan Sosial
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan
dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Pedangang
Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten.
Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan
Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan,
tetapi meluas hingga ke pedalaman .
F.
Silsilah
Pemerintahan Kerajaan Baten
1. Maulana Hasanuddin (1552-1570)
Dalam
Babad Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya, Hasanuddin,
datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat di daerah
Banten.
Mula-mula
mereka datang di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari,
tempat bersemayamnya 800 Ajar yang kemudian semuanya menjadi pengikut
Hasanuddin.
Di lereng
Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan
keislaman kepada anaknya.
Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Sesekali bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Sesekali bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Dalam
menyebarkan agama Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan
cara-cara yang dikenal masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun
mengadu kesaktian. Diceritakan, bahwa cara menyabung ayam di Gunung Lancar yang
dihadiri oleh banyak pembesar negeri, dua orang Ponggawa Pajajaran : Mas Jong
dan Agus Jo disebut juga Ki Jongjo memeluk agama Islam dan bersedia menjadi
pengikut Hasanuddin.
Setelah
Banten dikuasai oleh pasukan Demak dan Cirebon pada tahun 1525, atas petunjuk
dari Syarif Hidayatullah, pada tanggal 1 Muharram 1526 Masehi. Atau 8 Oktober
1526 Masehi, Pusat Pemerintahan Banten, yang tadinya berada di pedalaman Banten
(Banten Girang) di pindahkan ke dekat pelabuhan Banten.
Maka pada
tahun 1552 Banten yang tadinya hanya sebuah Kadipaten diubah menjadi sebuah
Negara bagian Demak dengan Hasanuddin sebagai Rajanya, dengan gelar Maulana
Hasanuddin Panembahan Surosowan.
Maulana
Hasanuddin, dalam usahanya membangun dan mengembangkan Kota Banten, lebih
menitikberatkan pada pengembangan di sector perdagangan, disamping memperluas
daerah pertanian dan perkebunan. Ia berusaha mendorong peningkatan pendapatan
rakyatnya dengan melalui pertumbuhan pasar yang sangat cepat. Karena Banten
menjadi tempat persinggahan perdagangan rempah-rempah.
Karena
banyaknya pedagang muslim yang juga aktif menyebarkan ajaran Islam. Akhirnya
Banten pun menjadi pusat penyebaran ajaran Islam untuk Jawa Barat dan sebagian
Sumatera.
Banten
Melepaskan Diri Dari Kuasa Demak. Kemelut berkepanjangan yang melanda pemerintahan
Demak. Dalam waktu yang bersamaan, Banten mengalami kemajuan dalam segala segi.
Situasi demikianlah yang mendorong Hasanuddin mengambil keputusan untuk
melepaskan Banten dari pengawasan Demak.
Banten
menjadi kerajaan yang berdiri sendiri, dengan Maulana Hasanuddin sebagai Raja
Pertamanya. Sedang wilayah kekuasaannya pada waktu itu meliputi Banten,
jayakarta sampai Kerawang, lampung, Indrapura sampai Solebar.
Tindakan
Hasanuddin yang melepaskan diri dari pengawasan Demak ini dianggap sangat
penting, karena disamping untuk kemajuan pengembangan daerah Banten, juga,
berarti Hasanuddin tidak mau ikut terlibat dalam keributan di pemerintahan
Demak, yang masih terhitung famili dekat.
Maka
dalam masa pemerintahan Hasanuddin selama 18 tahun (1552-1570), banyak kemajuan
yang diperoleh Banten dalam segala bidang kehidupan.
Dalam
kehidupan pribadi Maulana Hasanuddin, dari pernikahannya pada tahun 1526 dengan
Putri Raja Demak, yang bernama Ratu Ayu Kirana (putra Pangeran Trenggono),
dari pernikahan dengan Ratu Ayu Kirana dikaruniai anak :
Ratu Pembayun,
Pangeran Yusuf,
Pangeran Arya,
Pangeran Sunyararas,
Pangeran pajajaran,
Pangeran Pringgalaya,
Ratu Agung atau ratu Kumadaragi,
Pangeran malona Magrib, dan
Ratu Ayu Arsanengah.
Sedangkan anak dari istri yang lainnya :
Pangeran wahas,
Pangeran Lor,
Ratu Rara,
Ratu Keben,
Ratu Terpenter,
Ratu Wetan dan
Ratu Biru.
dari pernikahan dengan Ratu Ayu Kirana dikaruniai anak :
Ratu Pembayun,
Pangeran Yusuf,
Pangeran Arya,
Pangeran Sunyararas,
Pangeran pajajaran,
Pangeran Pringgalaya,
Ratu Agung atau ratu Kumadaragi,
Pangeran malona Magrib, dan
Ratu Ayu Arsanengah.
Sedangkan anak dari istri yang lainnya :
Pangeran wahas,
Pangeran Lor,
Ratu Rara,
Ratu Keben,
Ratu Terpenter,
Ratu Wetan dan
Ratu Biru.
Ratu
Pembayun kemudian menikah dengan Ratu Bagus Angke putra Ki Mas Wisesa Adimarta
yang selanjutnya mereka tinggal di Angke daerah Jayakarta (Djajaningrat,
1983:128)
Maulana Hasanuddin
wafat pada tahun 1570 dan dikuburkan di samping Masjid Agung. Setelah
meninggalnya Maulana Hasanuddin dikenal dengan sebutan Sedakingkin, kemudian
sebagai gantinya dinobatkan Pangeran Yusuf menjadi Raja Banten Ke-2.
2. Maulana Yusuf (1570-1580)
Masa
pemerintahan Maulana Hasanuddin, pembangunan Negara lebih dipusatkan pada
bidang keamanan kota, perluasan wilayah perdagangan, disamping penyebaran dan
pemantapan kepercayaan rakyat kepada ajaran agama Islam.
Sedangkan
pada Maulana Yusuf strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan
kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Tahun 1579, pasukan banten
dapat merebut Pakuan, Ibukota Kerajaan pajajaran (Djajaningrat 1983:153).
Ponggawa-ponggawa yang ditaklikan lalu di Islamkan dan masing-masing dibiarkan
memegang jabatannya semula (Djajaningrat 1983:153)
Pada masa
pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah demikian maju sehingga Banten
merupakan tempat penimbunan barang-barang dari segala penjuru dunia yang
nantinya disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara (Sutjipto.1961:13).
Dengan
majunya perdagangan maritime di Banten, maka Kota Surosowan, sejak pindahnya
kota ini dari Wahanten Girang tanggal 8 Oktober 1526 Masehi dikembangkan
menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa (Michrob,dkk,1990)
Babad Banten pupuh XXII menyatakan :
Gawe Kuta Baluwarti Bala Kalawan Kawis.
Artinya :
Membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang.
Dari awal Dinasti Maulana Yusuf inilah banten menjadi ramai baik oleh penduduk pribumi maupun pendatang.
Babad Banten pupuh XXII menyatakan :
Gawe Kuta Baluwarti Bala Kalawan Kawis.
Artinya :
Membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang.
Dari awal Dinasti Maulana Yusuf inilah banten menjadi ramai baik oleh penduduk pribumi maupun pendatang.
Perbaikan
Masjid Agung pun dikerjakannya, dan sebagai kelengkapan dibuatlah menara dengan
bantuan Cek Ban Cut arsitek muslim asal Mongolia (Ismail,1983).
Disamping
mengembangkan pertanian yang sudah ada, untuk memenuhi kebutuhan air bagi
sawah-sawah tersebut, dibuatlah terusan-terusan irigasi dan bendungan-bendungan
(Djajaningrat,1983:38 dan 59).
Bagi persawahan yang terletak di sekitar kota, dibangun satu danau buatan yang dinamakan Tasikardi . Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini.
Dari Permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua anak yaitu :
Ratu Winaon, dan
Pangeran Muhammad.
Sedangkan dari istri-istri lainnya baginda dikaruniai anak antara lain :
Pangeran upapati,
Pangeran Dikara,
Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina,
Pangeran Aria Ranamanggala,
Pangeran Mandura,
Pangeran Seminingrat,
Pangeran Dikara,
Ratu Demang atau Ratu Demak,
Ratu pacatanda atau ratu Mancatanda,
Ratu rangga,
Ratu manis,
Ratu Wiyos, dan
Ratu balimbing (Djajaningrat,1983:163)
3. Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan (1580-1596)
Bagi persawahan yang terletak di sekitar kota, dibangun satu danau buatan yang dinamakan Tasikardi . Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini.
Dari Permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua anak yaitu :
Ratu Winaon, dan
Pangeran Muhammad.
Sedangkan dari istri-istri lainnya baginda dikaruniai anak antara lain :
Pangeran upapati,
Pangeran Dikara,
Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina,
Pangeran Aria Ranamanggala,
Pangeran Mandura,
Pangeran Seminingrat,
Pangeran Dikara,
Ratu Demang atau Ratu Demak,
Ratu pacatanda atau ratu Mancatanda,
Ratu rangga,
Ratu manis,
Ratu Wiyos, dan
Ratu balimbing (Djajaningrat,1983:163)
3. Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan (1580-1596)
Maulana
Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agaman
Islam. Ia banyak mengarang kitab-kitab agama yang kemudian dibagikan kepada
yang membutuhkannya. Sultan sangat hormat kepada gurunya yang bernama Kiayi
Dukuh yang bergelar Pangeran Kesunyatan di Kampung Kesunyatan
(Djajaningrat,1983:39 dan 164).
Peristiwa
yang sangat menonjol pada masa Maulana Muhammad adalah peristiwa penyerbuan ke
Palembang. Kejadian ini bermula dari hasutan Pangeran Mas yang ingin menjadi
Raja di Palembang (Hamka,1972:78-84). Pangeran Mas adalah putra dari Aria
Pangiri, putra dari sunan Prawoto atau pangeran Mu’min dari Demak.
Terdorong
oleh darah mudanya dan pandainya Pangeran Mas membujuk, sultan pun dapat
dipengaruhinya. Saran Mangkubumi dan pembesar-pembesar senior lainnya tidak di
indahkannya.
Dengan
200 kapal perang berangkatlah pasukan Banten dipimpin oleh Sultan Muhammad yang
didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas. Lampung Seputih dan Semangka
diperintahkan untuk mengerahkan tentaranya menyerang dari darat. Maka
terjadilah pertempuran hebat di Sungai Musi sampai berhari hari lamanya. Dan
akhirnya pasukan Palembang dapat dipukul mundur. Tapi dalam keadaan yang hamper
berhasil itu, Sultan yang memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri tertembak
yang mengakibatkan kematiannya. Penyerangan tidak dilanjutkan, pasukan Banten
kembali tanpa hasil (Djajaningrat,1983:41-42 dan Hamka,1982:78-84), terjadi pada
tahun 1596 Masehi.
Pangeran
Mas tidak berani berlama lama menetap di Banten karena rakyat menganggap dialah
penyebab kematian Sultan, sehingga ia pergi kepada Pangeran Ancol di Jayakarta
untuk bias menetap disana. Tetapi di Jayakarta pun Pangeran Mas tidak
disenangi, akhirnya disuatu malam didapati Pangeran Mas dibunuh oleh anak
kandungnya sendiri (Hamka,1982:84).
Maulana
Muhammad meninggal dalam usia yang sangat muda kurang lebih 25 tahun dengan
meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri,
putrid dari Mangkubumi. Anak inilah yang menggantikan pemerintahannya.
Maulana
Muhammad setelah meninggalnya diberi gelar Pangeran Seda ing Palembang atau
Pangeran Seda ing Rana, dan dikuburkan diserambi Masjid Agung
(Djajaningrat,1983:169).
4. Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651)
4. Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651)
Setelah
Maulana Muhammad meninggal dunia, maka sebagai penggantinya dinobatkan anaknya,
Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan. Karena itu, untuk menjalankan roda
pemerintahan ditunjuk Mangkubumi Jayanegara sebagai walinya.
Mangkubumi Jayanegara adalah seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam hal pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, beliau selalu musyawarah dengan pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang ditunjuk sebagai pengasuh Sultan Muda yang bernama Nyai Emban Rangkun (Djajaningrat, 1983:169).
Mangkubumi Jayanegara adalah seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam hal pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, beliau selalu musyawarah dengan pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang ditunjuk sebagai pengasuh Sultan Muda yang bernama Nyai Emban Rangkun (Djajaningrat, 1983:169).
Masa
pemerintahan perwalian oleh Mangkubumi Jayanegara sebagai wali Sultan Abul
Mafakhir adalah masa yang paling pahit dalam pemerintahan Banten, karena adanya
pertentangan diantara beberapa keluarga kerajaan yang saling berbeda
kepentingan disamping adanya keinginan dari pihak yang hendak merebut tahta
kerajaan karena Sultan masih kecil.
Mangkubumi
Jayanegara meninggal pada tahun 1602 yang digantikan oleh adiknya. Tapi tidak
lama kemudian, yaitu pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat dari jabatannya
karena “berkelakuan tidak baik”. Dan karena dikhawatirkan akan menyebabkan
perpecahan dan irihati diantara pangeran dan pembesar Negara, maka diputuskan
untuk tidak mengangkat Mangkubumi baru, sedangkan perwalian diserahkan pada
ibunda Sultan, Nyai Gede Wanagiri (Djajaningrat,1983:170).
Tidak
lama kemudian Nyai Gede Wanagiri menikah kembali dengan seorang bangsawan
keraton, atas desakannya pula, suaminya itu diangkat sebagai Mangkubumi. Dalam
kenyataan sehari-hari, Mangkubumi yang baru ini disamping tidak mempunyai
wibawa, juga banyak menerima suap dari pedagang-pedagang asing, hingga banyak
peraturan dan perjanjian dagang yang lebih banyak menguntungkan pribadi
dibanding untuk kepentingan Negara dan rakyat. Keadaan ini menimbulkan
peperangan diantara saudara kerajaan. Perang Saudara ini lebih dikenal dengan
istilah Pailir, terjadi sekitar pada tanggal 8 Maret 1608 sampai 26 Maret 1609
(Djajaningrat,1983:43:46 dan 169:179).
Melalui usaha pangeran Jayakarta akhirnya perang saudara ini dapat dihentikan dan perjanjian damai dapat disepakati bersama. Setelah perang saudara usai Banten kembali menjadi aman, kemudian diangkat kembali Mangkubumi Baru Pangeran Ranamanggala juga sebagai wali Sultan Muda.
Melalui usaha pangeran Jayakarta akhirnya perang saudara ini dapat dihentikan dan perjanjian damai dapat disepakati bersama. Setelah perang saudara usai Banten kembali menjadi aman, kemudian diangkat kembali Mangkubumi Baru Pangeran Ranamanggala juga sebagai wali Sultan Muda.
Pangeran
Arya Manggala adalah putra Maulana Yusuf dari istri yang bukan permaisuri.
Tindakan pertama yang dilakukan sebagai mangkubumi adalah menertibkan keamanan
Negara. Yaitu dengan memberikan hukuman tegas kepada Pangeran atau Ponggawa
yang melakukan penyelewengan. Dan mengadakan perjanjian-perjanian dagang.
Kira-kira bulan Januari 1624, Mangkubumi Pangeran Arya Ranamanggala meletakkan jabatannya karena sakit. Diserahkannya segala wewenangnya kepada Sultan Abdul Kadir yang memang sudah dewasa.
Dua tahun kemudian yakni tanggal 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan diserambi Masjid Agung, kemudian masyarakat menyebutnya Pangeran Gede. (Djajaningrat,1983:191)
Kira-kira bulan Januari 1624, Mangkubumi Pangeran Arya Ranamanggala meletakkan jabatannya karena sakit. Diserahkannya segala wewenangnya kepada Sultan Abdul Kadir yang memang sudah dewasa.
Dua tahun kemudian yakni tanggal 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan diserambi Masjid Agung, kemudian masyarakat menyebutnya Pangeran Gede. (Djajaningrat,1983:191)
Setelah
meninggalnya Mangkubumi Arya Ranamanggala, Kesultanan Banten sepenuhnya
ditangan Abdul Kadir.
Sultan Abdul Kadir, dari Permaisurinya Putri Pangeran Rangga Singasari mempunyai lima anak :
Pangeran Pekik (bergelar Sultan Ma’ali Ahmad, sepulang dari Mekkah),
Ratu Dewi,
Ratu Mirah,
Ratu Ayu, dan
Pangeran Banten.
Sultan Abdul Kadir, dari Permaisurinya Putri Pangeran Rangga Singasari mempunyai lima anak :
Pangeran Pekik (bergelar Sultan Ma’ali Ahmad, sepulang dari Mekkah),
Ratu Dewi,
Ratu Mirah,
Ratu Ayu, dan
Pangeran Banten.
Dalam
masa pemerintahan Sultan Abdul kadir diutuslah beberapa pembesar istana ke
Mekkah pada tahun 1633 atau 1634. Utusan ini dipimpin oleh Labe Panji,
Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran Pekik sebagai
wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.
Sekitar
tanggal 21 April 1638 rombongan yang diutus ke Mekkah sampai kembali di Banten.
Tidak lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda Sultan yakni Nyai
Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah Sultan, ibundanya dikuburkan
di desa Kenari.
Dalam sejarah Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai ulama saleh. Salah satu kitab karangannya Insan Kamil.
Sultan Abulma’ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut :
Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma (putrid Pangeran Jayakarta) dikaruniai lima anak :
Ratu Kulon (Ratu Pembayun),
Pangeran Surya,
Pangeran Arya Kulon,
Pangeran Lor, dan
Pangeran Raja. (Tjandrasasmita,1976:8)
Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah (Ratu Wetan) mempunyai anak :
Pangeran Wetan,
Pangeran Kidul,
Ratu Inten, dan
Ratu Tinumpuk.
Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra :
Ratu Petenggak,
Ratu Tengah,
Ratu Wijil,
Ratu Pusmita,
Pangeran Arya Dipanegara atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara,
Pangeran Aryadikusuma atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru. (Djajaningrat,1983:59).
Dalam sejarah Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai ulama saleh. Salah satu kitab karangannya Insan Kamil.
Sultan Abulma’ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut :
Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma (putrid Pangeran Jayakarta) dikaruniai lima anak :
Ratu Kulon (Ratu Pembayun),
Pangeran Surya,
Pangeran Arya Kulon,
Pangeran Lor, dan
Pangeran Raja. (Tjandrasasmita,1976:8)
Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah (Ratu Wetan) mempunyai anak :
Pangeran Wetan,
Pangeran Kidul,
Ratu Inten, dan
Ratu Tinumpuk.
Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra :
Ratu Petenggak,
Ratu Tengah,
Ratu Wijil,
Ratu Pusmita,
Pangeran Arya Dipanegara atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara,
Pangeran Aryadikusuma atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru. (Djajaningrat,1983:59).
Putra
Mahkota Pangeran Pekik atau Sultan Abulma’ali Ahmad meninggal dunia, setelah
menderita sakit yang lama (1650), dimakamkan di pekuburan Kenari, sebagai
penggantinya diserahkan kepada anaknya yakni Pangeran Surya dengan gelar
Pangeran Adipati Anom (Sultan Banten Ke 5) juga digelari Pangeran Ratu ing
Banten sebagai seorang ahli strategi perang.
Tidak
lama setelah itu yakni 10 Maret 1651, Sultan Abumafakir Mahmud Abdul Kadir
meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di Kenari, berdekatan dengan makam
ibundanya dan putra kesayangannya.
G.
Kehidupan
Politik dan Pemerintahan kerajaan Banten
Pada awal berkembangnya masyarakat pantai Banten,
Banten merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Namun pada tahun 1524
wilayah Banten berhasil dikuasai oleh Kerajaan Demak di bawah pimpinan Syarif
Hidayatullah. Pada waktu Demak terjadi perebutan kekuasaan, Banten melepaskan
diri dan tumbuh menjadi kerajaan besar.
Setelah itu, kekuasaan Banten diserahkan kepada
Sultan Hasanudin, putra Syarif Hidayatullah. Sultan Hasanudin dianggap sebagai
peletak dasar Kerajaan Banten. Banten semakin maju di bawah pemerintahan Sultan
Hasanudin karena didukung oleh faktor-faktor berikut ini:
Letak Banten yang strategis terutama setelah Malaka
jatuh ke tangan Portugis, Banten menjadi bandar utama karena dilalui jalur
perdagangan laut.
Banten menghasilkan rempah-rempah lada yang menjadi
perdagangan utama bangsa Eropa menuju Asia.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Hal-hal yang dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa terhadap kemajuan Kerajaan Banten adalah sebagai berikut:
Memajukan wilayah perdagangan. Wilayah perdagangan
Banten berkembang sampai ke bagian selatan Pulau Sumatera dan sebagian wilayah
Pulau Kalimantan.
Banten dijadikan sebagai tempat perdagangan
internasional yang mempertemukan pedagang lokal dengan para pedagang asing dari
Eropa.
Memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam sehingga
banyak murid yang belajar agama Islam ke Banten.
Melakukan modernisasi bangunan keraton dengan
bantuan arsitektur Lucas Cardeel. Sejumlah situs bersejarah peninggalan Kerajaan
Banten dapat kita saksikan hingga sekarang di wilayah Pantai Teluk Banten.
Membangun armada laut untuk melindungi perdagangan.
Kekuatan ekonomi Banten didukung oleh pasukan tempur laut untuk menghadapi
serangan dari kerajaan lain di Nusantara dan serangan pasukan asing dari Eropa.
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu raja
yang gigih menentang pendudukan VOC di Indonesia. Kekuatan politik dan angkatan
perang Banten maju pesat di bawah kepemimpinannya. Namun akhirnya VOC
menjalankan politik adu domba antara Sultan Ageng dan putranya, Sultan Haji.
Berkat politik adu domba tersebut Sultan Ageng Tirtayasa kemudian berhasil
ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat pada tahun 1629 Masehi.
H.
Puncak
Kejayaan
Kesultanan
Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang
perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9]
Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan
multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang
dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan
Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.Di
bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa,
serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke
Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan
menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari
tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas
kapal-kapal dagang menuju Banten.
I.
Perang
Saudara
Sekitar tahun
1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan
dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan
ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan
dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan.
Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London
tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam
perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan
yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai
oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran
Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda.
Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan
mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan
Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati
yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan
pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan
Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh
Yusuf.[14] Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan
menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj
untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya
ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem
Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari
1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati
beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri
baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
J.
Penurunan
Bantuan dan
dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi
kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada
VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint
Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu
kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat
VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu
berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti
kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah
meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di
Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl
Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar
tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan
gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan
gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di
Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara
keturunan penguasa Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten,
atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak
pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di
antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang
berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa
perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
K.
Kemunduran
Kerajaan Banten
Penyebab kemunduran Kerajaan Banten berawal saat mangkatnya Raja Besar
Banten Maulana Yusuf. Setelah mangkatnya Raja Besar terjadilah perang saudara
di Banten antara saudara Maulana Yusuf dengan pembesar Kerajaan Banten. Sejak
saat itu Banten mulai hancur karena terjadi peang saudara, apalagi sudah tidak
ada lagi raja yang cakap seperti Maulana Yusuf.
No comments:
Post a Comment