PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dewasa ini,
perkembangan industri di Indonesia
khususnya industri kimia berkembang pesat. Hal ini menyebabkan kebutuhan
asetanilida yang merupakan bahan baku serta bahan penunjang industri kimia akan
semakin meningkat pula. Asetanilida
merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida
primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus
asetil.
Asetanilida banyak digunakan dalam industri kimia antara lain sebagai bahan baku pembuatan obat –
obatan, sebagai zat awal
penbuatan penicilium, bahan pembantu dalam industri cat dan karet, bahan intermediet pada sulfon dan
asetilklorida. Asetanilida
mempunyai nama lain yaitu N-phenylacetamide atau asetanil. Cincin aromatik dari
anilin C6H5NH2, yang sangat kaya dengan
elektron. Pasangan elektron sunyi dari N, bisa melakukan delokalisasi dengan
sistem π dari inti benzen. Akibatnya anilin sangat mudah mengalami reaksi
subsitusi elektrofilik. Penggantian gugus fungsi amina jadi amida dapat
dilakukan dengan mereaksikan amina dengan asetat anhidrat, suatu amina primer
aromatik mengalami penggantian gugus fungsi jadi asetanilida, suatu zat
antipiretik (zat penurun panas), dengan anhidrida asetat,juga digunakan untuk
melegakan sengal-sengal,sakit kepala.
Pada saat ini, asetanilida sudah banyak digunakan dalam pembuatan
obat-obatan bahan pembantu dalam industri cat dan karet, bahan intermediet pada sulfon dan
asetanil klorida karena kebutuhan akan asetanilida yang cukup diperlukan
sekarang ini. Mengingat pentingnya kegunaan asetanilida, maka akan dilakukan
percobaan untuk membuat asetanilida dalam skala labor.
1.2
Tujuan
Percobaan
Mempelajari pembuatan turunan
amida aromatik melalui reaksi amina aromatik dengan turunan asam karboksilat,
yaitu anhidrida asam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anilina
Anilina memiliki rumus kimia C6H5NH2 dan
biasa dikenal dengan nama fenilamina atau aminobenzena. Senyawa turunan benzena
ini mengandung gugus amina. Berikut struktur molekul anilina. Anilina memiliki wujud cair pada
suhu kamar dan tidak berwarna (colorless). Titik didihnya 184 °C, sedangkan
titik lelehnya –6 °C. Senyawa anilina mudah menguap dan menimbulkan bau tak
sedap, seperti ikan yang membusuk. Dilihat dari sifat kimianya, anilina
tergolong basa lemah. Anilina dapat bereaksi dengan asam kuat menghasilkan
garam yang mengandung ion anilinium (C6H5–NH3+).
Gambar 2.1
Rumus molekul anilin
Selain itu, anilin juga mudah
bereaksi dengan asil halida (misalnya asetil klorida, CH3COCl
membentuk suatu amida. Amida yang terbentuk dari anilin disebut anilida.
Misalnya, senyawa dengan rumus kimia CH3–CO–NH–C6H5 diberi
nama asetanilida. Anilina
banyak digunakan sebagai zat warna. Bukan hanya itu, anilina juga digunakan
sebagai bahan baku pembuatan berbagai obat, seperti antipirina dan antifebrin.
Di balik kegunaannya, penggunaan anilina secara berlebihan dapat mengakibatkan
mual, muntah-muntah, pusing, dan sakit kepala. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa penggunaan anilina dapat menyebabkan insomnia. (Gultom,
2014).
Tabel 2.1 Sifat
fisika anilin
Sifat Fisika
|
|
Wujud
|
Cair seperti minyak
|
Kelarutan
|
Sukar
larut
|
Sifat
fisika
|
Beracun
|
Titik
didih
|
1840C
|
Titik
leleh
|
-60C
|
Berat
molekul
|
93
|
Berat
jenis
|
1,02 gr/ml
|
Indeks
bias
|
1,58
|
Sumber :
Fessenden (1999)
Adapun sifat
kimia dari aniline adalah sebagai
berikut (Fessenden, 1999):
a.
Basa lemah
b.
Aniline
dapat bereaksi dengan H2SO4 membentuk aniline
monosulfat jika dipanaskan berubah menjadi asam sulfonat
c.
Anilin
dapat bereaksi dengan asam membentuk garam-garamnya.
|
2.2 Asetat Glasial
Asam asetat atau asam
cuka adalah senyawa organik yang mengandung gugus asam karboksilat, yang
dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki
rumus empiris C2H4O2, dan rumus molekul CH3COOH.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah
asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya
hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-
.
|
Gambar 2.2 Rumus molekul asam asetat glasial
Asam asetat termasuk
ke dalam golongan asam karboksilat dengan rumus molekul CH3COOH,
berwujud cairan kental jernih atau padatan mengkilap, dengan bau tajam khas
cuka, titik leburnya 16,7oC, dan titik didihnya 118,5oC.
Senyawa murninya dinamakan asam etanoat glasial. Dibuat dengan mengoksidasi
etanol atau dengan mengoksidasi butana dengan bantuan mangan (II) atau kobalt
(II) etanoat larut pada suhu 200oC. Asam asetat digunakan dalam
pembuatan anhidrida etanoat untuk menghasilkan selulosa etanoat (untuk
polivinil asetat). Senyawa ini juga dapat dibuat dari fermentasi alkohol,
dijumpai dalam cuka makan yang dibuat dari hasil fermentasi bir, anggur atau
air kelapa. Beberapa jenis cuka makan dibuat dengan menambahkan zat warna.
Tabel 2.2 Sifat fisika asam asetat glasial
Sifat Fisika
|
|
Wujud
|
Cair
|
Warna
|
Tidak
berwarna
|
Bau
|
Berbau
tajam
|
Ph
|
2,5 pada
suhu 200C
|
Kekentalan
dinamik
|
1,22 mm2/s
pada suhu 200C
|
Kekentalan
kinematika
|
1,77 pada
suhu 200C
|
Titik
leleh
|
170C
|
Titik
didih
|
116-118
|
Titik
nyala
|
39oC
|
Tekanan
uap
|
(20oC)
1,54 hPa
|
Densitas
uap
|
2,07
|
Densitas
Densitas
|
(20oC)
1,05 g/cm3
|
Kelarutan
|
(20oC)
Dapat larut dalam air
|
Indeks
refraksi
|
(20oC)
1,37
|
Sumber : Fessenden (1999)
Adapun sifat
kimia asam asetat glacial adalah sebagai berikut (Junoto,1980):
a.
Keasaman
Atom hidrogen (H) pada gugus
karboksil (-COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat dilepaskan
sebagai ion H + (Proton), sehingga memberikan sifat
asam.
b.
Dimer siklis
Struktur kristal asam asetat
menunjukan bahwa molekul-molekul asam asetat berpasangan membentuk dimer yang
dihubungkan oleh ikatan hidrogen. dimer juga dapat dideteksi pada uap
bersuhu 120 0C. dimer juga terjadi pada larutan encer di
dalam pelarut tak-berikatan-hidrogen (misalnya air).
c.
Sebagai
pelarut
Asam asetat cair adalah pelarut
protik hidrofilik (Polar), mirip seperti air dan etanol. asam asetat memiliki
konstanta dielektrik yang sedang yaitu 6,2, sehingga ia bisa melarutkan baik senyawa polar seperti
garam anorganik dan gula maupun senyawa non-polar seperti minyak dan
unsur-unsur seperti sulfur dan iodin. asam asetat bercampur dengan mudah dengan
pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air, kloroform dan heksana. sifat
kelarutan dan kemudahan bercampur dari asam asetat.
Asam asetat
memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, tidak hanya itu asam asetat
juga berperan dalam perindustrian dan kesehatan, yaitu (Fessenden, 1999) :
1)
Dalam
industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman, pemberi rasa
asam dan aroma dalam makanan, serta untuk menambah rasa sedap pada masakan.
2)
Asam asetat
digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia.
Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk
memproduksi monomer vinil asetat (vinyl
acetate monomer, VAM).
3)
Selain itu
asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan juga ester.
Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil.
Sekitar larutan 12,5% untuk makanan.
4)
Reagen untuk
analisa.
5)
Untuk
membuat putih timbal, dll.
2.3 Asetat Anhidrat
Asam asetat dengan nama sistematik (CH3CO)2O, merupakan cairan berwarna bening, berbau tajam dan
berbau asam. Asetat anhidrat ini mempunyai berat molekul 102,09
gram/mol, membeku pada
temperatur -730C dan memiliki sifat yang mudah menguap dan mudah terbakar
sehingga harus disimpan dilemari asam agar tidak berbahaya bagi praktikan.
Tabel 2.3 Sifat fisika asetat anhidrat
%Unsur Penyusun
|
C= 1(16,67%), H= 4 (66,67%),O= 1 (16,67%)
|
Rumus molekul
|
(CH3CO)2O
|
Berat molekul
|
102,09 gr/mol
|
Titik didih
|
139,060C
|
Titik beku
|
-730C
|
Panas pembakaran
|
431,9 kkal/mol
|
Tekanan kritis
|
46,81 atm
|
Suhu kritis
|
2960C
|
Densitas pada 20°C
|
1,08 g/ml
|
Viskositas pada 25°C
|
0,843 mPa.s
|
Sumber : Damtith (1994)
Adapun sifat kimia
asetat anhidrat yaitu (Damtith, 1994):
a.
Mudah menguap dan mudah terbakar
b.
Larut dalam air membentuk asm asetat, dengan alkohol
dengan membentuk etil asetat, larut dalam kloroform dan eter
c.
Asetat anhidrat merupaka cairan yang sngat reaktif
d.
Menyebabkan kulit iritasi dan matinya jaringan, hindari
kontak kulit dan mata
e.
Asetat anhidrat digunakan sebagai pelarut
2.4 Etanol
Etanol,
disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol
saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna,
dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman
beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah salah satu obat rekreasi yang
paling tua.
Etanol
termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH
dan rumus empiris C2H6O. Ia merupakan isomer
konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat menjadi EtOH, dengan
“Et” merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5). Fermentasi gula menjadi etanol
merupakan salah satu reaksi organik paling awal yang pernah dilakukan manusia.
Efek dari konsumsi etanol yang memabukkan juga telah diketahui sejak dulu. Pada
zaman modern, etanol yang ditujukan untuk kegunaan industri dihasilkan dari
produk sampingan pengilangan minyak bumi.
Etanol
banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia yang ditujukan
untuk konsumsi dan kegunaan manusia. Contohnya adalah pada parfum, perasa,
pewarna makanan, dan obat-obatan. Dalam kimia, etanol adalah pelarut yang
penting sekaligus sebagai stok umpan untuk sintesis senyawa kimia lainnya.
Dalam sejarahnya etanol telah lama digunakan sebagai bahan bakar
(Junoto, 1980).
2.5 Amina Aromatis
Amina
merupakan gabungan dari suatu ammonia (-NH3) dengan hidrokarbon. Amina
diklasifikasikan berdasarkan banyaknya hidrokarbon (alkil atau aril) yang
menyerang/berikatan dengan gugus fungsi suatu ammonia (RNH2,R2NH, dan R3N). Amina dan amida adalah sangat mirip
yaitu sama-sama mempunyai gugus karbonil yang membedakan adalah adanya gugus
asil pada amida (RCO- atau ArCO-). Amina dapat diubah menjadi amida dengan
suatu reaksi asilasi atau dapat pula dibuat dengan mereaksikan antara asam
karboksilat dengan menambahkan agen penghidrasi untuk menyerap air. Agen
penghidrasi ini biasanya menggunakan DDC (dicyclohexylcarboiimide), karena
harga DDC tersebut terlalu mahal, pembuatan amide biasanya menggunakan reaksi
asilasi. Contoh dari suatu amina adalah anilin (R-NRR), sedangkan amida dapat
dicontohkan dengan asetanilida (Fessenden dan Fessenden, 1999).
|
Amina merupakan suatu basa (lemah) karena dapat
mendonorkan pasangan elektron (menerima proton) kepada atom lain, yaitu pasangan
elektron non-bonding dari nitrogen. Kuat basa dipengaruhi oleh hibridisasi,
oleh gugus penarik elektron, dan oleh konjugasi. Karena amina merupakan suatu basa yang lemah maka amina akan
mudah teroksidasi daripada amida. Elektron bebas dari atom Nitrogen dapat
berpindah ke cincin benzena dan meningkatkan rapat elektron didalam cincin
terutama pada posisi orto-para. Struktur resonansi untuk anilin menunjukkan
bahwa gugus NH2 itu bersifat melepas
elektron secara resonansi meskipun N merupakan atom elekktronegatif.
|
Akibat stabilisasi-resonansi, cincin
anilin menjadi negatif sebagian dan sangat menarik bagi elektrofil yang masuk.
Semua posisi (o-, m-, p-) pada cincin anilin teraktifkan terhadap substitusi
elektrofilik. Namun posisi o- dan p- lebih teraktifkan disbanding m-. Struktur
resonansi yang sudah dipaparkan diatas menunjukkan bahwa posisi-posisi o- dan
p- mengemban muatan negatif parsial sedangkan m- tidak.
Amina aromatis tidak larut dalam
air, seperti misalnya amilum, N-metil aniline.Amonia dan amina primer
masing-masing mengandung sebuah gugus -NH2. Pada amonia, gugus ini
terikat pada sebuah atom hidrogen sedangkan pada amina primer terikat pada
sebuah gugus alkil (disimbolkan dengan "R" pada gambar berikut) atau
pada sebuah cincin benzen. (Fessenden dan Fessenden, 1997).
2.6 Amida Primer
Amida terbentuk dari
asam karboksilat, disebut carboxamides,
adalah padatan kecuali untuk yang paling sederhana seperti formamida yang dalam
bentuk cairan. Amida tidak menghantarkan
listrik, memiliki titik didih tinggi, dan ketika cair adalah pelarut yang baik.
Tidak ada sumber-sumber alam praktis amida kovalen sederhana, tetapi peptida
(seperti enzim) dan
protein dalam sistem kehidupan adalah rantai panjang (polimer) dengan ikatan
peptida. Urea adalah suatu amida dengan dua kelompok amino. Amida komersial, termasuk beberapa kovalen digunakan sebagai pelarut,
sedangkan yang lainnya adalah obat sulfa dan nilon. Kelas kedua, ion amida
(seperti garam), dibuat dengan memperlakukan sebuah amida kovalen, amina atau
amonia dengan reaktif logam (misalnya natrium) dan basa kuat.
Sebuah turunan dari asam
karboksilat dengan RCONH2 sebagai rumus umum, di mana R adalah
hidrogen atau alkil atau aril radikal. Amida dibagi menjadi beberapa sub kelas, tergantung
pada jumlah substituen pada nitrogen. Yang
sederhana atau primer, yaitu amida dibentuk oleh penggantian gugus hidroksil
karboksilat oleh gugus amino, NH2. Senyawa ini diberi nama dengan
menjatuhkan asam "-ic" dari nama asam karboksilat asal dan
menggantinya dengan akhiran "amida" (Austin,
1984).
Gambar 2.5 Amida Primer (Austin, 1984)
2.7 Proses Pembuatan Asetanilida
2.7.1
Pembuatan Asetanilida
Asetanilida
dalam skala industri dapat diproduksi dengan berbagai macam proses, diantaranya
adalah sebagai berikut (Fessenden, 1999):
a.
Pembuatan
asetanilida dari asam asetat anhidrat dan aniline
Larutan benzene dalam satu bagian aniline dan 1,4 bagian asam asetat
anhidrat direfluk dalam sebuah kolom yang dilengkapi dengan jaket sampai tidak
ada aniline yang tersisa.
2C6H5NH2
+ (CH3CO)2O 2C6H5NHCOCH3+H2O
Campuran reaksi di
saring, kemudian kristal dipisahkan dari air panasnya dengan pendinginan, dan
filtratnya direcycle kembali.
Pemakaian asam asetat anhidrat dapat diganti dengan asetil klorida.
b.
Pembuatan
asetanilida dari asam asetat dan aniline
Metode ini merupakan
metode awal yang masih digunakan karena lebih ekonomis. Aniline dan asam asetat berlebih 100% direaksikan dalam sebuah
tangki yang dilengkapi dengan pengaduk.
C6H5NH2
+CH3COOH C6H5NHCOCH3 +
H2O
Reaksi berlangsung
selama 6 jam pada suhu 1500C-1600C. Produk dalam keadaan
panas dikristalisasi dengan menggunakan kristalizer.
c.
Pembuatan
asetanilida dari ketene dan aniline
Ketena (gas) dicampur
kedalam aniline di bawah kondisi yang
diperkenankan akan menghasilkan asetanilida.
C6H5NH2 +CH3COSH C6H5NHCOCH3
d.
Pembuatan
asetanilida dari asam thioasetat dan
aniline
Asam thioasetat
direaksikan dengan aniline dalam
keadaan dingin akan menghasilkan asetanilida dengan membebaskan H2S.
C6H5NH2
+CH3COSH C6H5NHCOCH3 +
H2S
Dalam
percobaan asetanilida
ini digunakan proses antara asetat anhidrat
dengan anilin. Pertimbangan dari pemilihan proses ini adalah
(Williamson, 1999):
a.
Reaksinya
sederhana
b.
Tidak
menggunakan katalis sehingga tidak memerlukan alat untuk regenerasi katalis dan
tidak perlu menambah biaya yang digunakan untuk membeli katalis sehingga biaya
produksi lebih murah.
2.7.2 Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan proses pengkristalan kembali, yang bertujuan
mendapatkan kristal yang lebih murni dan bentuk kristalnya lebih bagus. Syarat
untuk rekristalisasi adalah menggunakan pelarut, dimana pelarut yang dipakai
harus dapat melarutkan kristal tersebut. Terdapat beberapa definisi tentang
rekristalisasi, yaitu sebagai berikut (Williamson, 1999):
a.
Rekristalisasi
adalah suatu proses dimana butir logam yang terdeformasi digantikan oleh
butiran baru yang tidak terdeformasi yang intinya tumbuh sampai butiran asli
termasuk didalamnya.
c.
Terbentuknya
struktur butiran baru melalui tumbuhnya inti dengan pemanasan. Besarnya suhu rekristalisasi adalah setengah sampai dengan sepertiga dari
suhu logam.
Kristalisasi
dikatagorikan sebagai salah satu proses pemisahan yang efisien. Pada umumnya
tujuan dari proses kristalisasi adalah untuk pemisahan dan pemurnian. Adapun
sasaran dari proses kristalisasi adalah menghasilkan produk kristal yang
mempunyai kualitas seperti yang diinginkan. Kualitas kristal antara lain dapat
ditentukan dari tiga parameter berikut yaitu : distribusi ukuran kristal (Crystal
Size Distribution, CSD), kemurnia kristal (crystal purity) dan
bentuk kristal (crystal habit/shape).
Rekristalisasi merupakan metode yang sangat penting untuk pemurnian
komponen larutan organik. Ada tujuh metode menurut dalam rekristalisasi yaitu (Williamson, 1999):
a.
Memilih pelarut
b.
Melarutkan zat terlarut
c.
Menghilangkan warna larutan
d.
Memindahkan zat padat
e.
Mengkristal larutan
f.
Mengumpulkan dan mencuci
kristal
g.
Mengeringkan produk
2.7.3 Perhitungan kadar air
Pengukuran kadar air dalam suatu
bahan sangat diperlukan dalam berbagai bidang. Salah satu bidang yang
memerlukan pengukuran kadar air adalah bidang industri bahan kimia. Prinsip
dari metode oven pengering adalah bahwa air yang terkandung dalam suatu
bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada suhu 105oC
selama waktu tertentu. Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan
adalah kadar air. Kadar
air dalam makanan dapat ditentukan dengan berbagai cara
1.
Metode Pengeringan
(Thermogravimetri)
Prinsipnya menguapkan air yang ada
dalam bahan dengan jalan
pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan berarti semua air
sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah. Kelemahannya antara lain (Vogel, 1996):
a)
Bahan lain di samping air juga ikut
menguap dan ikut hilang bersama dengan uap misalnya alkohol, asam asetat,
minyak atsiri, dan lain-lain.
b)
Dapat terjadi reaksi selama
pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain. Contoh gula
mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi dan
sebagainya.
c)
Bahan yang mengandung bahan yang
dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah
dipanaskan.
2.
Metode Destilasi (Thermovolumetri)
Prinsip penentuan kadar air dengan
destilasi adalah menguapkan air dengan pembawa” cairan kimia yang mempunyai
titik didih lebih tinggi daripada air dan tidak dapat campur dengan air serta
mempunyai berat jenis lebih rendah daripada air. Zat kimia yang dapat digunakan
antara lain: toluen, xylen, benzen, tetrakhlorethilen dan xylol.
Cara penentuannya adalah dengan
memberikan zat kimia sebanyak 75-100 ml pada sampel yang diperkirakan
mengandung air sebanyak 2-5 ml, kemudian dipanaskan sampai mendidih. Uap air dan zat kimia tersebut
diembunkan dan ditampung dalam tabung penampung. Karena berat jenis air lebih
besar daripada zat kimia tersebut maka air akan berada dibagian bawah pada tabung
penampung. Bila pada tabung penampung dilengkapi skala maka banyaknya air dapat
diketahui langsung.
Penentuan kadar air dengan cara
pemanasan yang dimaksud disini adalah pengeringan sample dengan menggunakan
oven (pemanas). Metode penentuan kadar air dengan cara pemanasan ini adalah
yang paling sering dilakukan dan paling sederhana.
..................................(2.1)
2.7.4 Perhitungan
Yield
Dalam kimia, yield
merujuk pada jumlah produk reaksi yang dihasilkan pada reaksi kimia. Yield dapat ditulis sebagai berat
dalam gram atau dalam mol. Yield yang digunakan sebagai perhitungan efektivitas
prosedur, dihitung dengan membagi jumlah produk yang didapatkan dalam mol
dengan rendemen teoritis dalam
mol. Persamaan yield dapat ditulis sebagai (Vogel, 1996):
.............................................(2.2)
2.8
Asetanilida
Asetanilida merupakan senyawa turunan
asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida primer, dimana satu atom
hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus asetil. Asetinilida berbentuk
butiran berwarna putih (kristal) tidak larut dalam minyak parafin dan larut dalam
air dengan bantuan kloral anhidrat. Asetanilida atau sering disebut
phenilasetamida mempunyai rumus molekul C6H5NHCOCH3
dan berat molekul 135,16 g/gmol (Irdoni & Nirwana, 2017).
Gambar 2.6 Rumus
molekul asetanilida
(Irdoni & Nirwana, 2017)
Asetanilida pertama kali ditemukan oleh Friedel Kraft pada tahun 1872
dengan cara mereaksikan asethopenon dengan NH2OH sehingga terbentuk
asetophenon oxime yang kemudian dengan bantuan katalis dapat diubah menjadi
asetanilida. Pada tahun 1899 Beckmand menemukan
asetanilida dari reaksi antara benzilsianida dan H2O dengan katalis
HCl. Lalu, pada tahun 1905 Weaker menemukan asetanilida dari anilin dan asam
asetat (Irdoni & Nirwana, 2017).
Tabel 2.4 Sifat fisika asetanilida
Rumus
Molekul
|
C6H5NHCOCH3
|
Berat Molekul
|
135,16 g/gmol
|
Titik Didih Normal
|
305oC (1 atm) ; 415,21oC (2,5
atm)
|
Berat Jenis
|
1,21 gr/ml
|
Titik Kristalisasi
|
113-60oC (1 atm)
|
Wujud
|
Padat
|
Warna
|
Putih
|
Bentuk
|
Butiran (kristal)
|
Sumber : Kirk&Otmer (1981)
Sifat – sifat kimia asetanilida adalah (Kirk&Otmer, 1981) :
a.
Pirolisa dari
asetanilida menghasilkan N–diphenil urea, anilin, benzen dan asam hidrosianik.
b.
Asetanilida merupakan
bahan ringan yang stabil dibawah kondisi biasa, hydrolisa dengan alkali cair
atau dengan larutan asam mineral cair dalam kedaan panas akan kembali ke bentuk
semula.
c.
Adisi sodium dlam
larutan panas Asetanilida didalam xilena menghasilkan C6H5NH2.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1
Bahan-bahan yang Digunakan
1.
Anilin
2.
Asetat
Anhidrat
3.
Asam
asetat glasial
4.
Aquades
5.
Etanol
3.2
Alat
– alat yang digunakan
1.
Labu
didih dasar bulat
2.
Gelas
ukur 5
ml
3.
Gelas
piala 100
ml
4.
Erlenmeyer
vakum
5.
Corong
Buchner
6.
Pompa vakum
7.
Oven
8.
Pipet Tetes
9.
Timbangan Anlitik
10.
Termometer
11.
Cawan Penguap
3.3
Prosedur Percobaan
1.
Asam
asetat glasial sebanyak 2,5
ml dimasukkan
ke dalam labu
didih dasar datar.
2.
Anilin
sebanyak 4,56 ml ditambahkan ke dalam labu kemudian
diikuti dengan asetat anhidrat sebanyak 4,72 ml. Hati-hati, reaksi eksoterm,
dilakukan dalam lemari
asam.
3.
Campuran
diaduk dengan
sempurna, larutan dibiarkan
pada suhu kamar selama 5 menit.
4.
Larutan
diencerkan
dengan 75
ml aquades, sehingga terbentuk Kristal asetanilida
5.
Kertas saring ditimbang.
6.
Setelah pembentukan
kristal sempurna, kristal disaring dengan pompa vakum.
7.
Asetanilida yang didapat dikeringkan dan dipisahkan dari zat
pengotor.
8.
Hasil
yang didapat kemudian ditimbang.
9.
Rekristalisasi
dilakukan dengan
etanol 25 ml dan 25 ml air
panas.
10.
Zat pengotor dilarutkan dengan aquades hangat.
11.
Larutan asetanilida dicampurkan dengan zat pengotor
sampai homogen.
12.
Larutan didinginkan dengan batu es selama 90 menit sampai
kristal terbentuk.
13.
Kristal
yang terbentuk disaring lagi dengan pompa vakum, lalu dikeringkan dalam oven
selama lebih kurang 10 menit sampai berat asetanilida konstan.
14.
Hasil
yang didapat ditimbang
15.
Yield dan kadar air dihitung.
3.4
Diagram Alir
3.5 Rangkaian
Alat
|
Gambar 3.1 Rangkaian alat
Keterangan
:
1.
Pompa
Penghisap Vakum
2.
Selang
Pembuangan Gas
3.
Corong
Buchner
4.
Erlemenyer
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan asetanilida
Asetanilida
dibuat dengan mereaksikan asetat anhidrat dan anilin dengan cara pencampuran.
Pencampuran merupakan proses mencampurkan berbagai senyawa hingga menghasilkan
suatu senyawa yang homogen atau dikenal dengan larutan. Sebanyak 4,72 ml asetat
anhidrat di masukkan kedalam labu didih dasar datar, kemudian ditambahkan
dengan 4,56 ml anilin, serta penambahan 2,5 ml asam asetat glasial sebagai
penghidrasi. Pencampuran dilakukan didalam lemari asam karena reaksi yang
berlangsung merupakan reaksi eksoterm. Reaksi eksoterm disini maksudnya ketika
reaksi berlangsung terjadi pelepasan kalori dari sistem ke lingkungan, energi
yang terkandung dalam zat-zat hasil reaksi lebih kecil dari zat-zat pereaksi,
sehingga perubahan entalpinya negatif (Michael Purba,2004).
Campuran
diaduk dengan sempurna kemudian didinginkan selama 5 menit. Setelah dingin campuran diencerkan
dengan 75 ml akuades. Tujuannya untuk menghidrolisis asetat
anhidrat menjadi asam
asetat yang masih
bersisa pada larutan (Kirk&Otmer, 1981). Hasil dari pengenceran ini
terbentuk kristal pada larutan asetanilida tersebut yang bewarna sedikit kecoklatan.
Untuk
mendapatkan kristal asetanilida dilakukan penyaringan menggunakan corong
buchner dan pompa vakum. Hasil dari penyaringan yaitu terpisahnya larutan
pengotor dan kristal asetanilida yang diinginkan untuk proses selanjutnya.
Setelah didapatkan, asetanilida ditimbang bersama kertas saring yang sebelumnya
telah diketahui berat dari kertas saring tersebut. Tujuan menggunakan corong
buchner dan pompa vakum dalam penyaringan agar proses penyaringan dapat
berlangsung optimal. Pada dasarnya prinsip corong buchner adalah menyedot udara di ruang
corong agar air dapat menetes sedangkan residu yang tidak terlarut tetap di
corong. Kertas saring diletakkan di atas corong dan dibasahi dengan pelarut
untuk mencegah kebocoran pada awal penyaringan. Cairan yang akan dipisahkan
disaring ke dalam Corong Buhcner dan dihisap ke dalam bejana hisap dengan pompa
vakum. Sampai pada tahap penyaringan
asetanilida didapat 6,83 gram asetanilida.
4.2 Rekristalisasi
Asetanilida
Untuk
mendapatkan asetanilida yang lebih murni perlu dilakukan rekristalisasi,
rekristalisasi adalah pembentukan kristal kembali setelah suatu padatan
dipanaskan menjadi cair kemudian didinginkan menjadi padatan kembali. Tahapan
pokok rekristalisasi yaitu(Williamson, 1999):
a.
Melarutkan senyawa yang akan dimurnikan ke dalam pelarut
yang sesuai pada atau dekat titik didihnya.
b.
Menyaring
larutan panas dari molekul atau partikel tidak larut.
c.
Biarkan
larutan panas menjadi dingin hingga terbentuk kristal
d.
Memisahkan kristal dari larutan berair.
Proses
rekristalisasi dilakukan dengan menambahkan campuran etanol-air kedalam
asetanilida yang dihasilkan, kemudian dipanaskan pada suhu sekitar 550C.
Pemanasan dilakukan agar asetanilida dapat cepat larut. Rekristalisasi ini
sendiri menggunakan etanol bertujuan
untuk mengikat pengotor-pengotor yang masih terdapat pada asetanilida pada hasil
kristalisasi (Wiliamson,1999). Setelah rekristalisasi asetanilida disaring lagi
dengan pompa vakum. Setelah disaring dengan menggunakan
pompa vakum, asetanilida yang didapat ditimbang dengan menggunakan timbangan
analitik. Kristal yang didapat tidak sepenuhnya kering dan bebas dari uap air,
oleh karena itu dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven. Pengovenan ini
dilakukan sebanyak 6 kali, dan hasilnya berat
asetanilida akhir yang diperoleh sebesar 2,26 gram. Kadar air
asetanilida sebesar 66,91 % dan yield
sebesar 40,87 %.
Hasil yang
didapat pada praktikum kali ini sebanyak 2,26 gram lebih sedikit dibandingkan pada praktikum sebelumnya yang hanya
menghasilkan 3,746gram. Dan hasil asetanilida yang dihasilkan pada kelompok
sebelumnya lebih murni dapat dilihat dari warnanya yang lebih putih
dibandingkan asetanilida pada percobaan kali ini yang warnanya masih agak
kecoklatan. Perbandingan kemurnian dilihat dari yield yang didapatkan yaitu
kelompok sebelumnya memiliki nilai yield 55%sedangkan
pada percobaan kali ini yield yang didapatkan sebesar 40,87 %. Perbedaan ini
didapatkan karena perbedaan perlakuan pada proses rekristalisasi. Kelompok
sebelumnya melakuka rekristalisasi dengan suhu 700Csehingga endapan pengotor dapat larut dan larutan menjadi homogen sebelum
didinginkan didalam batu es, sedangkan pada percobaan kali ini larutan belum
terlalu homogen ketika akan didinginkan karena jumlah pengotor yang terlalu
banyak. Lama pendinginan yang dilakukan juga berbeda sehingga jumlah Kristal
yang dihasilkan berbeda, kelompok sebelumnya hanya menghasilkan sebanyak 3,746 gram sedangkan pada percobaan kali ini dihasilkan 2,26 gram.( (Kirk&Otmer, 1981).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
.
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
tujuan laporan, dapat disimpulkan bahwa asetanilida merupakan turunan amida
aromatik yang dihasilkan dari reaksi asilasi antara anilin dan asam asetat
anhidrat.
5.2
Saran
Pada proses pencampuran sebaiknya
dilakukan didalam lemari asam karena reaksi bersifat eksoterm dan
berhati-hati saat
praktikum berlangsung. Serta gunakan
selalu alat pelindung diri seperti sarung tangan dan masker
DAFTAR PUSTAKA
Austin, G.T. (1984). Shreve’s Chemical Process Industries,5th ed, Singapura: McGraw- Hill Book Co.
Damtith,
J. (1994). Kamus
Lengkap Kimia. Jakarta: Erlangga.
Fessenden, RJ dan J.S Fessenden. (1997). Dasar-dasatr
Kimia Organik, Jakarta: Bina
Aksara.
Fessenden, RJ dan J.S Fessenden. (1999). Kimia
Organik. Jilid
2. Edisi 3. Jakarta:
Erlangga.
Gultom,
R.D.P. (2014). Kimia Organik 2. Senyawa Aromatis. Surabaya: ITS.
Irdoni dan Nirwana. (2017). Modul
Kimia Organik.
Pekanbaru:
Fakultas Teknik Universitas
Riau.
Junoto.
(1980). Pedoman Pratikum Mikrobiologi
Umum (Untuk Perguruan Tinggi). Yogyakarta: UGM Press.
Kirk,
R.E. dan Otmer,D.F.(1981).Encyclopedia of
Chemical Engineering Technology. New York: John Willey and Sons Inc.
Michael,P. (2004). Kimia
SMA Kelas XI Jilid 2A dan 2B.
Jakarta:
Erlangga.
Vogel,
A.I.
(1996). Vogel's Textbook of Practical
Organic Chemistry, 5 th edition. New York: Longman Scientific & Technical.
Williamson. (1999). Macroscale and Microscale Organic Experiments,
6th edition. Boston: Houghton Mifflin.
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.club....^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856