Tuesday 10 July 2018

laporan praktikum kimia organik Reaksi Asilasi Pembuatan Asetanilida


BAB I
PENDAHULUAN
           
1.1         Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan industri di Indonesia khususnya industri kimia berkembang pesat. Hal ini menyebabkan kebutuhan asetanilida yang merupakan bahan baku serta bahan penunjang industri kimia akan semakin meningkat pula. Asetanilida merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus asetil.
Asetanilida banyak digunakan dalam industri kimia antara lain sebagai bahan baku pembuatan obat – obatan, sebagai zat awal penbuatan penicilium, bahan pembantu dalam industri cat dan karet, bahan intermediet pada sulfon dan asetilklorida. Asetanilida mempunyai nama lain yaitu N-phenylacetamide atau asetanil. Cincin aromatik dari anilin C6H5NH2, yang sangat kaya dengan elektron. Pasangan elektron sunyi dari N, bisa melakukan delokalisasi dengan sistem π dari inti benzen. Akibatnya anilin sangat mudah mengalami reaksi subsitusi elektrofilik. Penggantian gugus fungsi amina jadi amida dapat dilakukan dengan mereaksikan amina dengan asetat anhidrat, suatu amina primer aromatik mengalami penggantian gugus fungsi jadi asetanilida, suatu zat antipiretik (zat penurun panas), dengan anhidrida asetat,juga digunakan untuk melegakan sengal-sengal,sakit kepala.
Pada saat ini, asetanilida sudah banyak digunakan dalam pembuatan obat-obatan bahan pembantu dalam industri cat dan karet, bahan intermediet pada sulfon dan asetanil klorida karena kebutuhan akan asetanilida yang cukup diperlukan sekarang ini. Mengingat pentingnya kegunaan asetanilida, maka akan dilakukan percobaan untuk membuat asetanilida dalam skala labor.

1.2         Tujuan Percobaan
Mempelajari pembuatan turunan amida aromatik melalui reaksi amina aromatik dengan turunan asam karboksilat, yaitu anhidrida asam.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1     Anilina
Anilina memiliki rumus kimia C6H5NH2 dan biasa dikenal dengan nama fenilamina atau aminobenzena. Senyawa turunan benzena ini mengandung gugus amina. Berikut struktur molekul anilina. Anilina memiliki wujud cair pada suhu kamar dan tidak berwarna (colorless). Titik didihnya 184 °C, sedangkan titik lelehnya –6 °C. Senyawa anilina mudah menguap dan menimbulkan bau tak sedap, seperti ikan yang membusuk. Dilihat dari sifat kimianya, anilina tergolong basa lemah. Anilina dapat bereaksi dengan asam kuat menghasilkan garam yang mengandung ion anilinium (C6H5–NH3+). 
Description: Anilina
Gambar 2.1 Rumus molekul anilin
Selain itu, anilin juga mudah bereaksi dengan asil halida (misalnya asetil klorida, CH3COCl  membentuk suatu amida. Amida yang terbentuk dari anilin disebut anilida. Misalnya, senyawa dengan rumus kimia CH3–CO–NH–C6H5 diberi nama asetanilida. Anilina banyak digunakan sebagai zat warna. Bukan hanya itu, anilina juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan berbagai obat, seperti antipirina dan antifebrin. Di balik kegunaannya, penggunaan anilina secara berlebihan dapat mengakibatkan mual, muntah-muntah, pusing, dan sakit kepala. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan anilina dapat menyebabkan insomnia. (Gultom, 2014).










Tabel 2.1 Sifat fisika anilin
Sifat Fisika
Wujud
Cair seperti minyak
Kelarutan
Sukar larut
Sifat fisika
Beracun
Titik didih
1840C
Titik leleh
-60C
Berat molekul
93
Berat jenis
1,02 gr/ml
Indeks bias
1,58
Sumber : Fessenden (1999)
Adapun sifat kimia dari aniline adalah sebagai berikut (Fessenden, 1999):
a.              Basa lemah
b.             Aniline dapat bereaksi dengan H2SO4 membentuk aniline monosulfat jika dipanaskan berubah menjadi asam sulfonat
c.              Anilin dapat bereaksi dengan asam membentuk garam-garamnya.

2.2     Asetat Glasial
Asam asetat atau asam cuka adalah senyawa organik yang mengandung gugus asam karboksilat, yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2, dan rumus molekul CH3COOH. Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO- .

https://nizaura.files.wordpress.com/2011/03/150px-ch3cooh_acidoacetico.png
 
 





Gambar 2.2 Rumus molekul asam asetat glasial
Asam asetat termasuk ke dalam golongan asam karboksilat dengan rumus molekul CH3COOH, berwujud cairan kental jernih atau padatan mengkilap, dengan bau tajam khas cuka, titik leburnya 16,7oC, dan titik didihnya 118,5oC. Senyawa murninya dinamakan asam etanoat glasial. Dibuat dengan mengoksidasi etanol atau dengan mengoksidasi butana dengan bantuan mangan (II) atau kobalt (II) etanoat larut pada suhu 200oC. Asam asetat digunakan dalam pembuatan anhidrida etanoat untuk menghasilkan selulosa etanoat (untuk polivinil asetat). Senyawa ini juga dapat dibuat dari fermentasi alkohol, dijumpai dalam cuka makan yang dibuat dari hasil fermentasi bir, anggur atau air kelapa. Beberapa jenis cuka makan dibuat dengan menambahkan zat warna.
Tabel 2.2 Sifat fisika asam asetat glasial
Sifat Fisika
Wujud
Cair
Warna
Tidak berwarna
Bau
Berbau tajam
Ph
2,5 pada suhu 200C
Kekentalan dinamik
1,22 mm2/s pada suhu 200C
Kekentalan kinematika
1,77 pada suhu 200C
Titik leleh
170C
Titik didih
116-118
Titik nyala
39oC
Tekanan uap
(20oC) 1,54 hPa
Densitas uap
2,07
Densitas Densitas
(20oC) 1,05 g/cm3
Kelarutan
(20oC) Dapat larut dalam air
Indeks refraksi
(20oC) 1,37
Sumber : Fessenden (1999)
Adapun sifat kimia asam asetat glacial adalah sebagai berikut (Junoto,1980):
a.              Keasaman
Atom hidrogen (H) pada gugus karboksil (-COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat dilepaskan sebagai ion H (Proton), sehingga memberikan sifat asam.
b.             Dimer siklis
Struktur kristal asam asetat menunjukan bahwa molekul-molekul asam asetat berpasangan membentuk dimer yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen. dimer juga dapat dideteksi pada uap bersuhu 120 0C. dimer juga terjadi pada larutan encer di dalam pelarut tak-berikatan-hidrogen (misalnya air).

c.              Sebagai pelarut
Asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (Polar), mirip seperti air dan etanol. asam asetat memiliki konstanta dielektrik yang sedang yaitu 6,2, sehingga ia bisa melarutkan baik senyawa polar seperti garam anorganik dan gula maupun senyawa non-polar seperti minyak dan unsur-unsur seperti sulfur dan iodin. asam asetat bercampur dengan mudah dengan pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air, kloroform dan heksana. sifat kelarutan dan kemudahan bercampur dari asam asetat.
Asam asetat memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, tidak hanya itu asam asetat juga berperan dalam perindustrian dan kesehatan, yaitu (Fessenden, 1999) :
1)             Dalam industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman, pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, serta untuk menambah rasa sedap pada masakan.
2)             Asam asetat digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM).
3)             Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil. Sekitar larutan 12,5% untuk makanan.
4)             Reagen untuk analisa.
5)             Untuk membuat putih timbal, dll.

2.3     Asetat Anhidrat
Asam asetat dengan nama sistematik (CH3CO)2O, merupakan cairan berwarna bening, berbau tajam dan berbau asam. Asetat anhidrat ini mempunyai berat molekul 102,09 gram/mol, membeku pada temperatur -730C dan memiliki sifat yang mudah menguap dan mudah terbakar sehingga harus disimpan dilemari asam agar tidak berbahaya bagi praktikan.





Tabel 2.3 Sifat fisika asetat anhidrat
%Unsur Penyusun
C= 1(16,67%), H= 4 (66,67%),O= 1 (16,67%)
Rumus molekul
(CH3CO)2O
Berat molekul
102,09 gr/mol
Titik didih
139,060C
Titik beku
-730C
Panas pembakaran
431,9 kkal/mol
Tekanan kritis
46,81 atm
Suhu kritis
2960C
Densitas pada 20°C
1,08 g/ml
Viskositas pada 25°C
0,843 mPa.s
Sumber : Damtith (1994)
Adapun sifat kimia asetat anhidrat yaitu (Damtith, 1994):
a.              Mudah menguap dan mudah terbakar
b.             Larut dalam air membentuk asm asetat, dengan alkohol dengan membentuk etil asetat, larut dalam kloroform dan eter
c.              Asetat anhidrat merupaka cairan yang sngat reaktif
d.             Menyebabkan kulit iritasi dan matinya jaringan, hindari kontak kulit dan mata
e.              Asetat anhidrat digunakan sebagai pelarut

2.4     Etanol
Etanol, disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol  saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah salah satu obat rekreasi yang paling tua.
Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Ia merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat menjadi EtOH, dengan “Et” merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5). Fermentasi gula menjadi etanol merupakan salah satu reaksi organik paling awal yang pernah dilakukan manusia. Efek dari konsumsi etanol yang memabukkan juga telah diketahui sejak dulu. Pada zaman modern, etanol yang ditujukan untuk kegunaan industri dihasilkan dari produk sampingan pengilangan minyak bumi.
Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia yang ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan manusia. Contohnya adalah pada parfum, perasa, pewarna makanan, dan obat-obatan. Dalam kimia, etanol adalah pelarut yang penting sekaligus sebagai stok umpan untuk sintesis senyawa kimia lainnya. Dalam sejarahnya etanol telah lama digunakan sebagai bahan bakar (Junoto, 1980).

2.5     Amina Aromatis
Amina merupakan gabungan dari suatu ammonia (-NH3) dengan hidrokarbon. Amina diklasifikasikan berdasarkan banyaknya hidrokarbon (alkil atau aril) yang menyerang/berikatan dengan gugus fungsi suatu ammonia (RNH2,R2NH, dan R3N). Amina dan amida adalah sangat mirip yaitu sama-sama mempunyai gugus karbonil yang membedakan adalah adanya gugus asil pada amida (RCO- atau ArCO-). Amina dapat diubah menjadi amida dengan suatu reaksi asilasi atau dapat pula dibuat dengan mereaksikan antara asam karboksilat dengan menambahkan agen penghidrasi untuk menyerap air. Agen penghidrasi ini biasanya menggunakan DDC (dicyclohexylcarboiimide), karena harga DDC tersebut terlalu mahal, pembuatan amide biasanya menggunakan reaksi asilasi. Contoh dari suatu amina adalah anilin (R-NRR), sedangkan amida dapat dicontohkan dengan asetanilida (Fessenden dan Fessenden, 1999).

Gambar 2.3 Rumus molekul asetanilida dan anilin (Fessenden dan Fessenden,1999)

 
 



Amina merupakan suatu basa (lemah) karena dapat mendonorkan pasangan elektron (menerima proton) kepada atom lain, yaitu pasangan elektron non-bonding dari nitrogen. Kuat basa dipengaruhi oleh hibridisasi, oleh gugus penarik elektron, dan oleh konjugasi. Karena amina merupakan suatu basa yang lemah maka amina akan mudah teroksidasi daripada amida. Elektron bebas dari atom Nitrogen dapat berpindah ke cincin benzena dan meningkatkan rapat elektron didalam cincin terutama pada posisi orto-para. Struktur resonansi untuk anilin menunjukkan bahwa gugus NH2 itu bersifat melepas elektron secara resonansi meskipun N merupakan atom elekktronegatif.





Gambar 2.4 Proses donor pasangan elektron (Fessenden dan Fessenden, 1999)
 
 


Akibat stabilisasi-resonansi, cincin anilin menjadi negatif sebagian dan sangat menarik bagi elektrofil yang masuk. Semua posisi (o-, m-, p-) pada cincin anilin teraktifkan terhadap substitusi elektrofilik. Namun posisi o- dan p- lebih teraktifkan disbanding m-. Struktur resonansi yang sudah dipaparkan diatas menunjukkan bahwa posisi-posisi o- dan p- mengemban muatan negatif parsial sedangkan m- tidak.
Amina aromatis tidak larut dalam air, seperti misalnya amilum, N-metil aniline.Amonia dan amina primer masing-masing mengandung sebuah gugus -NH2. Pada amonia, gugus ini terikat pada sebuah atom hidrogen sedangkan pada amina primer terikat pada sebuah gugus alkil (disimbolkan dengan "R" pada gambar berikut) atau pada sebuah cincin benzen. (Fessenden dan Fessenden,  1997).

2.6       Amida Primer
Amida terbentuk dari asam karboksilat, disebut carboxamides, adalah padatan kecuali untuk yang paling sederhana seperti formamida yang dalam bentuk cairan. Amida tidak menghantarkan listrik, memiliki titik didih tinggi, dan ketika cair adalah pelarut yang baik. Tidak ada sumber-sumber alam praktis amida kovalen sederhana, tetapi peptida (seperti enzim) dan protein dalam sistem kehidupan adalah rantai panjang (polimer) dengan ikatan peptida. Urea adalah suatu amida dengan dua kelompok amino. Amida komersial, termasuk beberapa kovalen digunakan sebagai pelarut, sedangkan yang lainnya adalah obat sulfa dan nilon. Kelas kedua, ion amida (seperti garam), dibuat dengan memperlakukan sebuah amida kovalen, amina atau amonia dengan reaktif logam (misalnya natrium) dan basa kuat.
Sebuah turunan dari asam karboksilat dengan RCONH2 sebagai rumus umum, di mana R adalah hidrogen atau alkil atau aril radikal. Amida dibagi menjadi beberapa sub kelas, tergantung pada jumlah substituen pada nitrogen. Yang sederhana atau primer, yaitu amida dibentuk oleh penggantian gugus hidroksil karboksilat oleh gugus amino, NH2. Senyawa ini diberi nama dengan menjatuhkan asam "-ic" dari nama asam karboksilat asal dan menggantinya dengan akhiran "amida" (Austin, 1984).
21-29fed41947.jpg
Gambar 2.5 Amida Primer (Austin, 1984)
2.7     Proses Pembuatan Asetanilida
2.7.1 Pembuatan Asetanilida
Asetanilida dalam skala industri dapat diproduksi dengan berbagai macam proses, diantaranya adalah sebagai berikut (Fessenden, 1999):
a.              Pembuatan asetanilida dari asam asetat anhidrat dan aniline
Larutan benzene dalam satu bagian aniline dan 1,4 bagian asam asetat anhidrat direfluk dalam sebuah kolom yang dilengkapi dengan jaket sampai tidak ada aniline yang tersisa.
2C6H5NH2 + (CH3CO)2O             2C6H5NHCOCH3+H2O                                         
Campuran reaksi di saring, kemudian kristal dipisahkan dari air panasnya dengan pendinginan, dan filtratnya direcycle kembali. Pemakaian asam asetat anhidrat dapat diganti dengan asetil  klorida.
b.             Pembuatan asetanilida dari asam asetat dan aniline
Metode ini merupakan metode awal yang masih digunakan karena lebih ekonomis. Aniline dan asam asetat berlebih 100% direaksikan dalam sebuah tangki yang dilengkapi dengan pengaduk.
C6H5NH2 +CH3COOH              C6H5NHCOCH3 + H2O                               
Reaksi berlangsung selama 6 jam pada suhu 1500C-1600C. Produk dalam keadaan panas dikristalisasi dengan menggunakan kristalizer.
c.              Pembuatan asetanilida dari ketene dan aniline
Ketena (gas) dicampur kedalam aniline di bawah kondisi yang diperkenankan akan menghasilkan asetanilida.
 C6H5NH2 +CH3COSH              C6H5NHCOCH3
                                         
d.             Pembuatan asetanilida dari asam thioasetat dan aniline
Asam thioasetat direaksikan dengan aniline dalam keadaan dingin akan menghasilkan asetanilida dengan membebaskan H2S.
C6H5NH2 +CH3COSH               C6H5NHCOCH3 + H2S                                
Dalam percobaan asetanilida ini digunakan proses antara asetat anhidrat dengan anilin. Pertimbangan dari pemilihan proses ini adalah (Williamson, 1999):
a.       Reaksinya sederhana
b.      Tidak menggunakan katalis sehingga tidak memerlukan alat untuk regenerasi katalis dan tidak perlu menambah biaya yang digunakan untuk membeli katalis sehingga biaya produksi lebih murah.

2.7.2    Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan proses pengkristalan kembali, yang bertujuan mendapatkan kristal yang lebih murni dan bentuk kristalnya lebih bagus. Syarat untuk rekristalisasi adalah menggunakan pelarut, dimana pelarut yang dipakai harus dapat melarutkan kristal tersebut. Terdapat beberapa definisi tentang rekristalisasi, yaitu sebagai berikut (Williamson, 1999):
a.              Rekristalisasi adalah suatu proses dimana butir logam yang terdeformasi digantikan oleh butiran baru yang tidak terdeformasi yang intinya tumbuh sampai butiran asli termasuk didalamnya.
b.             Perubahan struktur kristal akibat pemanasan pada suhu kritis.
c.              Terbentuknya struktur butiran baru melalui tumbuhnya inti dengan pemanasan. Besarnya suhu rekristalisasi adalah setengah sampai dengan sepertiga dari suhu logam.
Kristalisasi dikatagorikan sebagai salah satu proses pemisahan yang efisien. Pada umumnya tujuan dari proses kristalisasi adalah untuk pemisahan dan pemurnian. Adapun sasaran dari proses kristalisasi adalah menghasilkan produk kristal yang mempunyai kualitas seperti yang diinginkan. Kualitas kristal antara lain dapat ditentukan dari tiga parameter berikut yaitu : distribusi ukuran kristal (Crystal Size Distribution, CSD), kemurnia kristal (crystal purity) dan bentuk kristal (crystal habit/shape).
Rekristalisasi merupakan metode yang sangat penting untuk pemurnian komponen larutan organik. Ada tujuh metode menurut dalam rekristalisasi yaitu (Williamson, 1999):
a.              Memilih pelarut
b.             Melarutkan zat terlarut
c.              Menghilangkan warna larutan
d.             Memindahkan zat padat
e.              Mengkristal larutan
f.              Mengumpulkan dan mencuci kristal
g.              Mengeringkan produk       
                                                   
2.7.3 Perhitungan kadar air
Pengukuran kadar air dalam suatu bahan sangat diperlukan dalam berbagai bidang. Salah satu bidang yang memerlukan pengukuran kadar air adalah bidang industri bahan kimia. Prinsip dari metode oven pengering  adalah bahwa air yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada suhu 105oC selama waktu tertentu. Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air. Kadar air dalam makanan dapat ditentukan dengan berbagai cara
1.             Metode Pengeringan (Thermogravimetri)
Prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah. Kelemahannya antara lain (Vogel, 1996):
a)             Bahan lain di samping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri, dan lain-lain.
b)             Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain. Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi dan sebagainya.
c)             Bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
2.             Metode Destilasi (Thermovolumetri)
Prinsip penentuan kadar air dengan destilasi adalah menguapkan air dengan pembawa” cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada air dan tidak dapat campur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah daripada air. Zat kimia yang dapat digunakan antara lain: toluen, xylen, benzen, tetrakhlorethilen dan xylol.
Cara penentuannya adalah dengan memberikan zat kimia sebanyak 75-100 ml pada sampel yang diperkirakan mengandung air sebanyak 2-5 ml, kemudian dipanaskan sampai mendidih. Uap air dan zat kimia tersebut diembunkan dan ditampung dalam tabung penampung. Karena berat jenis air lebih besar daripada zat kimia tersebut maka air akan berada dibagian bawah pada tabung penampung. Bila pada tabung penampung dilengkapi skala maka banyaknya air dapat diketahui langsung.
Penentuan kadar air dengan cara pemanasan yang dimaksud disini adalah pengeringan sample dengan menggunakan oven (pemanas). Metode penentuan kadar air dengan cara pemanasan ini adalah yang paling sering dilakukan dan paling sederhana.

..................................(2.1)

2.7.4 Perhitungan Yield
Dalam kimia, yield  merujuk pada jumlah produk reaksi yang dihasilkan pada reaksi kimia. Yield dapat ditulis sebagai berat dalam gram atau dalam mol. Yield yang digunakan sebagai perhitungan efektivitas prosedur, dihitung dengan membagi jumlah produk yang didapatkan dalam mol dengan rendemen teoritis dalam mol. Persamaan yield dapat ditulis sebagai (Vogel, 1996):

.............................................(2.2)
2.8         Asetanilida
Asetanilida merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus asetil. Asetinilida berbentuk butiran berwarna putih (kristal) tidak larut dalam minyak parafin dan larut dalam air dengan bantuan kloral anhidrat. Asetanilida atau sering disebut phenilasetamida mempunyai rumus molekul C6H5NHCOCH3 dan berat molekul 135,16 g/gmol (Irdoni & Nirwana, 2017).
parasetamol.gif
Gambar 2.6 Rumus molekul asetanilida (Irdoni & Nirwana, 2017)
Asetanilida pertama kali ditemukan oleh Friedel Kraft pada tahun 1872 dengan cara mereaksikan asethopenon dengan NH2OH sehingga terbentuk asetophenon oxime yang kemudian dengan bantuan katalis dapat diubah menjadi asetanilida. Pada tahun 1899 Beckmand menemukan asetanilida dari reaksi antara benzilsianida dan H2O dengan katalis HCl. Lalu, pada tahun 1905 Weaker menemukan asetanilida dari anilin dan asam asetat (Irdoni & Nirwana, 2017).
Tabel 2.4 Sifat fisika asetanilida
Rumus Molekul
C6H5NHCOCH3
Berat Molekul
135,16 g/gmol
Titik Didih Normal
305oC (1 atm) ; 415,21oC (2,5 atm)
Berat Jenis
1,21 gr/ml
Titik Kristalisasi
113-60oC (1 atm)
Wujud
Padat
Warna
Putih
Bentuk
Butiran (kristal)
Sumber : Kirk&Otmer (1981)
Sifat – sifat kimia asetanilida adalah (Kirk&Otmer, 1981) :
a.              Pirolisa dari asetanilida menghasilkan N–diphenil urea, anilin, benzen dan asam hidrosianik.
b.             Asetanilida merupakan bahan ringan yang stabil dibawah kondisi biasa, hydrolisa dengan alkali cair atau dengan larutan asam mineral cair dalam kedaan panas akan kembali ke bentuk semula.
c.              Adisi sodium dlam larutan panas Asetanilida didalam xilena menghasilkan C6H5NH2.










BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1         Bahan-bahan yang Digunakan
1.    Anilin
2.    Asetat Anhidrat
3.    Asam asetat glasial
4.    Aquades
5.    Etanol

3.2         Alat – alat yang digunakan
1.    Labu didih dasar bulat
2.    Gelas ukur 5 ml        
3.    Gelas piala 100 ml    
4.    Erlenmeyer vakum   
5.    Corong Buchner
6.    Pompa vakum
7.    Oven
8.    Pipet Tetes
9.    Timbangan Anlitik
10.                   Termometer
11.                   Cawan Penguap
3.3         Prosedur Percobaan
1.    Asam asetat glasial sebanyak 2,5 ml dimasukkan ke dalam labu didih dasar datar.
2.    Anilin sebanyak 4,56 ml ditambahkan ke dalam labu kemudian diikuti dengan asetat anhidrat sebanyak 4,72 ml. Hati-hati, reaksi eksoterm, dilakukan dalam lemari asam.
3.    Campuran diaduk dengan sempurna, larutan dibiarkan pada suhu kamar selama  5 menit.
4.    Larutan diencerkan dengan 75 ml aquades, sehingga terbentuk Kristal asetanilida
5.    Kertas saring ditimbang.
6.    Setelah pembentukan kristal sempurna, kristal disaring dengan pompa vakum.
7.    Asetanilida yang didapat dikeringkan dan dipisahkan dari zat pengotor.
8.    Hasil yang didapat kemudian ditimbang.
9.    Rekristalisasi dilakukan dengan etanol  25 ml dan 25 ml air panas.
10.                   Zat pengotor dilarutkan dengan aquades hangat.
11.                   Larutan asetanilida dicampurkan dengan zat pengotor sampai homogen.
12.                   Larutan didinginkan dengan batu es selama 90 menit sampai kristal terbentuk.
13.                   Kristal yang terbentuk disaring lagi dengan pompa vakum, lalu dikeringkan dalam oven selama lebih kurang 10 menit sampai berat asetanilida konstan.
14.                   Hasil yang didapat ditimbang
15.                   Yield dan kadar air dihitung.





















3.4         Text Box: AnilinText Box: Asestat GlasialText Box: Asetat AnhidratDiagram Alir
 


                                         
 







                                                                 
 













3.5       Rangkaian Alat
 


4
 
           
 




Gambar 3.1 Rangkaian alat
Keterangan :
1.             Pompa Penghisap Vakum
2.             Selang Pembuangan Gas
3.             Corong Buchner
4.             Erlemenyer

                       


                                                                                                                                   





BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1     Pembuatan asetanilida
Asetanilida dibuat dengan mereaksikan asetat anhidrat dan anilin dengan cara pencampuran. Pencampuran merupakan proses mencampurkan berbagai senyawa hingga menghasilkan suatu senyawa yang homogen atau dikenal dengan larutan. Sebanyak 4,72 ml asetat anhidrat di masukkan kedalam labu didih dasar datar, kemudian ditambahkan dengan 4,56 ml anilin, serta penambahan 2,5 ml asam asetat glasial sebagai penghidrasi. Pencampuran dilakukan didalam lemari asam karena reaksi yang berlangsung merupakan reaksi eksoterm. Reaksi eksoterm disini maksudnya ketika reaksi berlangsung terjadi pelepasan kalori dari sistem ke lingkungan, energi yang terkandung dalam zat-zat hasil reaksi lebih kecil dari zat-zat pereaksi, sehingga perubahan entalpinya negatif (Michael Purba,2004).
Campuran diaduk dengan sempurna kemudian didinginkan selama 5 menit. Setelah dingin campuran diencerkan dengan 75 ml akuades. Tujuannya untuk menghidrolisis asetat anhidrat menjadi asam asetat yang masih bersisa pada larutan (Kirk&Otmer, 1981). Hasil dari pengenceran ini terbentuk kristal pada larutan asetanilida tersebut yang bewarna sedikit kecoklatan.
Untuk mendapatkan kristal asetanilida dilakukan penyaringan menggunakan corong buchner dan pompa vakum. Hasil dari penyaringan yaitu terpisahnya larutan pengotor dan kristal asetanilida yang diinginkan untuk proses selanjutnya. Setelah didapatkan, asetanilida ditimbang bersama kertas saring yang sebelumnya telah diketahui berat dari kertas saring tersebut. Tujuan menggunakan corong buchner dan pompa vakum dalam penyaringan agar proses penyaringan dapat berlangsung optimal. Pada dasarnya prinsip corong buchner adalah menyedot udara di ruang corong agar air dapat menetes sedangkan residu yang tidak terlarut tetap di corong. Kertas saring diletakkan di atas corong dan dibasahi dengan pelarut untuk mencegah kebocoran pada awal penyaringan. Cairan yang akan dipisahkan disaring ke dalam Corong Buhcner dan dihisap ke dalam bejana hisap dengan pompa vakum. Sampai pada tahap penyaringan asetanilida didapat 6,83 gram asetanilida.


4.2     Rekristalisasi Asetanilida
Untuk mendapatkan asetanilida yang lebih murni perlu dilakukan rekristalisasi, rekristalisasi adalah pembentukan kristal kembali setelah suatu padatan dipanaskan menjadi cair kemudian didinginkan menjadi padatan kembali. Tahapan pokok rekristalisasi yaitu(Williamson, 1999):
a.              Melarutkan senyawa yang akan dimurnikan ke dalam pelarut yang sesuai pada atau dekat titik didihnya.
b.             Menyaring larutan panas dari molekul atau partikel tidak larut.
c.              Biarkan larutan panas menjadi dingin hingga terbentuk kristal
d.             Memisahkan kristal dari larutan berair.                         
Proses rekristalisasi dilakukan dengan menambahkan campuran etanol-air kedalam asetanilida yang dihasilkan, kemudian dipanaskan pada suhu sekitar 550C. Pemanasan dilakukan agar asetanilida dapat cepat larut. Rekristalisasi ini sendiri menggunakan etanol  bertujuan untuk mengikat pengotor-pengotor yang masih terdapat pada asetanilida pada hasil kristalisasi (Wiliamson,1999). Setelah rekristalisasi asetanilida disaring lagi dengan pompa vakum. Setelah disaring dengan menggunakan pompa vakum, asetanilida yang didapat ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Kristal yang didapat tidak sepenuhnya kering dan bebas dari uap air, oleh karena itu dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven. Pengovenan ini dilakukan sebanyak 6 kali, dan hasilnya berat asetanilida akhir yang diperoleh sebesar 2,26 gram. Kadar air asetanilida sebesar 66,91 % dan yield sebesar 40,87 %.
Hasil yang didapat pada praktikum kali ini sebanyak 2,26 gram lebih sedikit dibandingkan pada praktikum sebelumnya yang hanya menghasilkan 3,746gram. Dan hasil asetanilida yang dihasilkan pada kelompok sebelumnya lebih murni dapat dilihat dari warnanya yang lebih putih dibandingkan asetanilida pada percobaan kali ini yang warnanya masih agak kecoklatan. Perbandingan kemurnian dilihat dari yield yang didapatkan yaitu kelompok sebelumnya memiliki nilai yield 55%sedangkan pada percobaan kali ini yield yang didapatkan sebesar 40,87 %. Perbedaan ini didapatkan karena perbedaan perlakuan pada proses rekristalisasi. Kelompok sebelumnya melakuka rekristalisasi dengan suhu 700Csehingga endapan pengotor dapat larut dan larutan menjadi homogen sebelum didinginkan didalam batu es, sedangkan pada percobaan kali ini larutan belum terlalu homogen ketika akan didinginkan karena jumlah pengotor yang terlalu banyak. Lama pendinginan yang dilakukan juga berbeda sehingga jumlah Kristal yang dihasilkan berbeda, kelompok sebelumnya hanya menghasilkan sebanyak 3,746 gram sedangkan pada percobaan kali ini dihasilkan 2,26 gram.( (Kirk&Otmer, 1981).























BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
.
5.1         Kesimpulan
Berdasarkan tujuan laporan, dapat disimpulkan bahwa asetanilida merupakan turunan amida aromatik yang dihasilkan dari reaksi asilasi antara anilin dan asam asetat anhidrat.

5.2         Saran
Pada proses pencampuran sebaiknya dilakukan didalam  lemari asam karena reaksi bersifat eksoterm dan berhati-hati saat praktikum berlangsung. Serta gunakan selalu alat pelindung diri seperti sarung tangan dan masker
 













DAFTAR PUSTAKA
Austin, G.T. (1984). Shreve’s Chemical Process Industries,5th ed, Singapura: McGraw- Hill Book Co.
Damtith, J. (1994). Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Erlangga.
Fessenden, RJ dan J.S Fessenden. (1997).  Dasar-dasatr Kimia Organik, Jakarta:  Bina Aksara.
Fessenden, RJ dan J.S Fessenden. (1999). Kimia Organik. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta: Erlangga.
Gultom, R.D.P. (2014).  Kimia Organik 2. Senyawa Aromatis. Surabaya: ITS.
Irdoni dan Nirwana. (2017). Modul Kimia Organik. Pekanbaru: Fakultas Teknik Universitas Riau.
Junoto. (1980). Pedoman Pratikum Mikrobiologi Umum (Untuk Perguruan Tinggi). Yogyakarta: UGM Press.
Kirk, R.E. dan Otmer,D.F.(1981).Encyclopedia of Chemical Engineering Technology. New York: John Willey and Sons Inc.
Michael,P. (2004). Kimia SMA Kelas XI Jilid 2A dan 2B. Jakarta: Erlangga.
Vogel, A.I. (1996). Vogel's Textbook of Practical Organic Chemistry, 5 th edition. New York: Longman Scientific & Technical.
Williamson. (1999). Macroscale and Microscale Organic Experiments, 6th edition. Boston: Houghton Mifflin.



1 comment:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ajoqq^^com
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajopk.club....^_~
    segera di add Whatshapp : +855969190856

    ReplyDelete